Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

YLKI: Kolusi Farmasi-Dokter Rugikan Konsumen

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menganggap kesepakatan KPK dengan Kementerian Kesehatan terkait sponsorship tidak mempengaruhi harga obat saat ini.
Ilustrasi/hrinc.com
Ilustrasi/hrinc.com

Kabar24.com, JAKARTA - Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menganggap kesepakatan KPK dengan Kementerian Kesehatan terkait sponsorship tidak mempengaruhi harga obat saat ini.

Kesepakatan tersebut hanya membuat praktik penerimaan sponsorship terpantau oleh institusi. Namun, sifatnya sama, perusahaan farmasi tetap mengeluarkan biaya untuk keperluan kerjasama saling menguntungkan tersebut (sponsorship).

"Perusahaan farmasi tetap mengeluarkan uang. Hal itu berimbas pada harga obat yang tak kunjung turun," ujar Tulus saat ditemui di Kantor YLKI, Jakarta, Selasa (9/2/2016).

Dikatakan, harga obat di Indonesia merupakan paling tinggi di dunia. Selisih harga obat tersebut bisa mencapai 30 % dibanding negara lainnya. Penyebab tingginya harga obat bisa disebabkan oleh sejumlah faktor.

Faktor pertama, hampir seluruh bahan baku obat masih impor dari negeri lain. Perusahaan farmasi di Indonesia hanya meracik bahan yang diimpor tersebut. Selain itu, ketergantungan terhadap luar negeri tersebut membuat kebutuhan dolar tinggi.

"Sehingga saat dolar naik seperti saat ini. Biaya produksi juga tinggi, harga obat juga ikut naik," kata dia.

Dia menduga, ada pihak-pihak yang memang sengaja mempertahankan agar nilai bahan baku obat masih didatangkan dari luar negeri.

 "Saya yakin ada kartel disitu, jarang diperharikan oleh orang," katanya.

Faktor lain yang membuat harga obat mahal adalah biaya promosi produk farmasi. Menurut Tulus, promosi tersebut tidak hanya dilakukan secara resmi. Praktik promosi obat tersebut juga dilakukan dengan menjalin kolusi dengan dokter yang bertugas di sebuah institusi maupun yang praktik pribadi.

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh YLKI, biaya promosi tersebut mencapai 30% dari harga obat. Konsumen di Indonesia, harus membeli 30% lebih tinggi dari harga dasar obat. Dicontohkan, harga dasar obat Rp7000. Namun karena biaya promosi sebesar 30%, maka harga obat yang harua dibayar konsumen yakni Rp10.000.

"Konsumen harus menanggung biaya produksi akibat tingginya biaya promosi tersebut," katanya.

Selain faktor tersebut, lemahnya pengawasan pemerintah terhadap praktik perdagangan obat di pasaran juga membuat harga menjadi mahal. Harga di suatu apotek bisa berbeda dengan apotek lainnya. "Faktor inilah juga perlu diperhatikan," tandasnya.

Praktik kolusi antara dokter dengan perusahaan farmasi membuat dokter seolah menjadi agen obat dari produsen obat. Terlebih laporan dari YLKI juga menyebutkan, dalam kasus obat, dokter mempunyai otoritas untuk menentukan obat yang dikonsumsi pasien. Konsumen pun tidak mempunyai pilihan.

Produsen obat memanfaatkan celah ini untuk membujuk dokter menggunakan obatnya. Tulus menambahkan, karena praktik kolusi tersebut, konsumen terkadang membeli obat yang sebenarnya tak diperlukan.

Modus

Modus yang sering dilakukan yakni pemberian obat tidak sesuai dengan kebutuhan pasien. Dia mencontohkan, seorang dokter di sebuah rumah sakit memberikan pasien demam berdarah obat antibiotik dengan harga yang mahal.

"Padahal, seorang pasien demam berdarah sebenarnya tak terlalu perlu antibiotik. Hanya caira saja, ternyata setelah ditelisik dokter tersebut memang bekerjasama dengan produsen obat," ujar dia lagi.

Selain praktik tersebut, modus yang sering dilakukan dokter adalah dengan meresepkan obat merek tertentu.

 "Ini terus terjadi dan paling sering ditemukan di lapangan," katanya. 

Sebelumnya, KPK dan Kemenkes menyepakati bahwa pemberian praktik kerjasama saling menguntungkan antara institusi kedokteran dengan farmasi tidak dilarang. Kesepakatan tersebut merupakan komitmen mereka untuk mencegah praktik gratifikasi di dalam dunia kedokteran.

Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  Pahala Nainggolan Selasa (2/2) lalu menganggap, praktik kerjasama saling menguntungkan berupa pemberian dana seminar yang disalurkan melalui rumah sakit dan organisasi profesi  bukanlah sesuatu yang dilarang.

Pahala mengkalim, mekanisme seperti itu tidak akan menimbulkan konflik kepentingan antara dokter dengan institusi rumah sakit atau organisasi profesinya.

Namun demikian, kesehatan KPK dan Kemenkes tersebut justru bertentangan dengan Buku Saku Memahami Gratifikasi yang diterbitkan Kedeputian Pencegahan KPK pada tahun 2012 tidak ada sedikitpun penjelasan yang membedakan gratifikasi yang diberikan kepada perorangan dengan institusi.

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper