Bisnis.com, MANADO - Meski rupiah terus terdepresiasi, tingkat inflasi di Sulawesi Utara terbukti masih terjaga yakni 0,62% pada September 2015 dan menunjukkan daya beli masyarakat yang stabil.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi tahun kalender Sulut mencapai 2,23% sedangkan inflasi year-on-year (yoy) sebesar 9,34% pada periode yang sama.
“Inflasi Sulut sepanjang Januari-September 2015 bergerak tidak melebihi 3%. Inflasi tidak selalu diartikan sebagai ancaman karena itu [inflasi] juga mencerminkan daya beli masyarakat,” kata Kepala BPS Sulut Faizal Anwar di Manado, Jumat (2/10/2015).
Menurutnya, komoditas beras dan cabe merupakan penyumbang utama capaian inflasi saat ini. Seperti diketahui, beberapa komoditas bahan makanan misalnya beras, cabai, dan bawang merah mengalami kenaikan harga karena musim kemarau yang panjang.
Sebaliknya, kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan justru menyumbang deflasi di Sulut. Pada Juli 2015, transportasi udara cukup berperan dalam mengerek inflasi hingga 1,03% karena adanya lebaran.
Jika dirinci, inflasi Sulut tertinggi terjadi pada Juli 2015 sebesar 1,03% akibat perayaan lebaran. Provinsi yang dikenal dengan Bumi Nyiur Melambai ini sempat membukukan deflasi pada januari 2015 (-0,71%), Februari (-0,20%), dan Agustus (0,53%) yang disebabkan oleh penyesuaian harga pasca perayaan akhir tahun, Natal, dan Lebaran.
“Selama ini, penyumbang utama inflasi di Sulut adalah bahan makanan misalnya beras dan cabe. Tapi, Pemerintah Provinsi harus mewaspadai lonjakan inflasi pada perayaan Natal yang jatuh pada akhir tahun ini karena persoalan over demand selalu terjadi,” tambahnya.
Secara umum, 11 kota di Pulau Sulawesi mengalami inflasi dengan besaran tertinggi berada di Manado (0,62%, dan terendah di Bau-bau (0,08%) pada September tahun ini.
Perihal depresiasi rupiah, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sulut Peter Jacobs pengaruhnya tidak signifikan. Pasalnya, ekonomi Sulut lebih banyak ditopang oleh sektor pertanian, perikanan, dan jasa.
Kendati demikian, khusus barang elektronik, dirinya memprediksi kelompok barang itu akan terkena imbas pelemahan rupiah sehingga harganya bakal melambung.
“Tapi, barang elektronik tidak seelastis kebutuhan pokok. Sumbangannya tidak akan besar karena permintaannya justru menurun," ucapnya.
Lebih lanjut, Peter menyebutkan dirinya berniat untuk kembali mengaktifkan program Rumah Pangan Lestari guna menekan kontribusi komoditas pertanian dalam mengerek inflasi kawasan ini.