Bisnis.com, JAKARTA - Majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menolak nota keberatan (eksepsi) yang diajukan oleh mantan Menteri Agama Suryadharma Ali dan pengacaranya dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi di Kementerian Agama sepanjang 2010-2014.
"Mengadili, menyatakan eksepsi atau keberatan dari terdakwa Suryadharma Ali dan penasihat hukum terdakwa tidak dapat diterima. Ke dua menyatakan surat dakwaan Penuntut Umum KPK atas nama terdakwa Suryadharma Ali adalah sah dan telah memenuhi ketentuan pasal 143 ayat 2 huruf a dan b KUHAP. Ke tiga, memerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksan pokok perkara," kata ketua majelis hakim Aswijon saat membacakan putusan sela di pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (21/9/2015).
Sebelumnya pada 7 September lalu SDA sudah mengajukan nota keberatan yang antara lain menyatakan bahwa ia sama sekali tidak melakukan tindakan melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara maupun menggunakan uang negara untuk keuntungan pribadinya.
Namun hakim berpendapat lain.
"Maka majelis hakim berpendapat dan berkesimpulan bahwa surat dakwaan penuntut umum dalam perkara ini telah ditulis secara jelas cermat dan lengkap sehingga telah memenuhi syarat materil dan formil. Menimbang bahwa dengan alasan pertimbangan hukum di atas majelis hakim berpendapat nota keberatan atau eksepsi dari terdakwa dan penasihat hukum terhadap surat dakwaan penuntut umum tidak beralasan hukum untuk dikabulkan sehingga harus dinyatakan tidak dapat diterima. Menimbang karena eksepsi tidak dapat diterima maka Pemeriksaan pokok perkara dapat dilanjutkan dengan memerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara," tambah Aswijon.
SDA dalam eksepsinya beralasan bawa kerugian negara yang didakwakan KPK kepada dirinya yaitu sekitar Rp53,9 miliar hanya kebohongan belaka.
"Sebagai tersangka saya terhempas, saya terhina apalagi kerugian disebutkan saudara Johan budi lebih dari Rp1 triliun rupiah. bahkan ada yang mengatakan sampai Rp1,8 triliun. Ternyata kerugian keuangan negara yang disebutkan di atas bohong belaka karena tidak sesuai dengan angka-angka yang didakwakan penuntut umum KPK pada saya. Ditambah lagi rekening bank milik saya, istri, anak, mantu yang diblokir KPK untuk mencari aliran korupsi ternyata KPK tidak menemukan aliran dana yang dimaksud satu rupiah pun, dan kemudian rekening-rekening tersebut blokirnya dibuka kembali," ungkap Suryadharma pada 7 September 2015 lalu.
Terkait penghitungan kerugian negara tersebut, majelis hakim menilai bahwa penghitungan kerugian negara yang dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan.
"Menimbang bahwa mengenai perhitungan kerugian negara yang dilakukan BPKP, menurut penasihat hukum, BPKP tidak berwenang melakukan audit kerugian negara karena yang berwenang sesuai UU adalah BPK saja. Terhadap hal tersebut, majelis berpendapat bahwa BPK bukanlah satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan audit penghitungan kerugian negara dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi. Akan tetapi, perhitungan kerugian negara juga dapat dilakukan oleh ahli lainnya, seperti akuntan publik, demikiam juga BPKP atas permintaan dari penyidik. Bahkan, apabila penyidik dan penuntut umum memiliki kemampuan untuk melakukan penghitungan, juga dapat menghitung sendiri kerugian negara akibat perbuatan korupsi," ungkap hakim Aswijon.
Apalagi menurut hakim berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi pada 24 Oktober 2012 yang membenarkan KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPK dan BPKP dalam rangka pembuktian Tindak Pidana Korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar instansi BPK dan BPKP, atau mengundang ahli lainnya.
Dalam perkara ini Suryadharma didakwa memperkaya diri sendiri sejumlah Rp1,821 miliar dan memperoleh hadiah 1 lembar potongan kain ka'bah (kiswah) serta merugikan keuangan negara sejumlah Rp27,283 miliar dan 17,967 juta riyal (sekitar Rp53,9 miliar) atau setidak-tidaknya sejumlah tersebut sebagaimana laporan perhitungan kerugian Negara dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan.
Menurut jaksa, Suryadharma melakukan sejumlah perbuatan yaitu menunjuk orang-orang tertentu yang tidak memenuhi persyaratan menjadi Petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi dan mengangkat Petugas Pendambilng Amirul Hajj tidak sesuai ketentuan; menggunakan Dana Operasional Menteri (DOM) tidak sesuai dengan peruntukan; mengarahkan Tim penyewaan Perumahan Jemaah Haji Indonesia di Arab Saudi untuk menunjuk penyedia perumahan jamaah Indonesia tidak sesuai ketentuan serta memanfaatkan sisa kuota haji nasional tidak berdasarkan prinsip keadilan dan proporsionalitas.
Suryadharma diancam pidana dalam pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana jo pasal 65 ayat 1 KUHPidana.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
PENGADILAN TIPIKOR: Eksepsi Suryadharma Ali Ditolak Majelis Hakim
Majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menolak nota keberatan (eksepsi) yang diajukan oleh mantan Menteri Agama Suryadharma Ali dan pengacaranya dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi di Kementerian Agama sepanjang 2010-2014.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
2 jam yang lalu
Taruhan Besar di Saham Adaro Minerals (ADMR)
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
31 menit yang lalu
KPK Jamin Kegiatan OTT Tidak Akan Dihilangkan Pimpinan Baru
54 menit yang lalu