Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi ketentuan yang melarang calon kepala daerah memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan ketentuan yang diatur dalam pasal 7 dan penjelasannya UU No. 8/2015 tentang Perubahan Atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1/2014 UU Pilkada merupakan hal yang inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Ketentuan tersebut mengandung muatan yang diskriminatif,” kata Anwar Usman, Wakil Ketua MK, saat membacakan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Perkara No. 33/PUU-XIII/2015, di Ruang Sidang Pleno MK, Rabu (8/7).
Ketentuan itu, jelasnya, diakui oleh pembentuk undang-undang memuat pembedaan perlakuan yang semata-mata didasarkan atas kelahiran dan status kekerabatan seseorang.
Padahal, dalam pasal 28 ayat 2 UUD 1945 menyatakan setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.
MK berpendapat, papar Anwar, meskipun dalam negara demokrasi yang berdasar atas hukum dibenarkan pemberlakuan pembatasan-pembatasan terhadap warga negara yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah, namun pembatasan tersebut tidak boleh memuat ketentuan yang bersifat diskriminatif.
“Mahkamah pun mengetahui bahwa ketentuan larangan adanya konflik kepentingan ditujukan untuk menciptakan kompetisi yang adil antara calon yang berasal dari keluarga petahana dan calon lain, sehingga akan tercegah berkembangnya ‘politik dinasti’ atau ‘dinasti politik’ yang marak terjadi di berbagai daerah,” katanya seperti yang dikutip dari situs resmi MK.
Kendati demikian, ketentuan larangan konflik kepentingan sebagaimana diatur dalam pasal 7 huruf r UU Pilkada akan sulit dilaksanakan dalam praktik, khususnya oleh KPU sebagai penyelenggara Pilkada.
“Sebab, pemaknaan terhadap frasa ‘tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana’ itu berarti diserahkan kepada penafsiran setiap orang sesuai dengan kepentingannya.”
Dengan kata lain, jelasnya, dapat dipastikan bahwa tidak akan ada kesamaan pandangan terhadap frasa tersebut. “Akibatnya, tidak ada kepastian hukum. Padahal, kepastian hukum terhadap penafsiran frasa tersebut menjadi penentu hak seseorang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang dijamin oleh Konstitusi.”
Selain itu, menurut Mahkamah seharusnya pembatasan-pembatasan ditujukan kepada kepala daerah petahana, bukan kepada keluarganya, kerabatnya, atau kelompok-kelompok tertentu. “Sebab, keuntungan-keuntungan itu melekat pada petahana sehingga kemungkinan penyalahgunaannya juga melekat pada petahana.”
Menurutnya, keluarga kepala daerah petahana atau kelompok-kelompok tertentu hanya mungkin diuntungkan oleh keadaan jika ada peran atau keterlibatan kepala daerah petahana dilakukan secara langsung dan terang-terangan dan/atau terselubung.
Menanggapi hal itu, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Kamil Manik menyatakan akan mengubah sejumlah pasal dalam peraturan KPU (PKPU) No. 9/2015 terkait pemilihan kepala daerah sesuai dengan keputusan MK.
Husni mengatakan KPU memang akan merevisi sejumlah pasal dalam beleid tersebut.