Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah kalangan menyebut pertimbangan hakim saat memenangkan permohonan praperadilan dari Wakapolri Komjen Pol Budi Gunawan, mantan Walikota Makassar Ilham Arief Siradjuddin, serta mantan Ketua BPK Hadi Poernomo sangat berisiko melemahkan KPK.
Jika dirinci, hakim Sarpin Rizaldi telah memulai jejak awal pelemahan KPK saat melawan Budi Gunawan yang diduga terlibat kasus gratifikasi dan kepemilikan rekening tak wajar. Dalam argumen putusannya, Sarpin beranggapan Budi Gunawan bukan penegak hukum dan penyelenggara negara.
Pelemahan KPK terus berlanjut dengan putusan Hakim Yuningtyas Upiek Kartikawati yang beranggapan bahwa KPK kurang bukti dalam menetapkan status tersangka Ilham Arif dalam dugaan kasus korupsi PDAM Makassar tahun anggaran 2006-2012.
Tak berhenti sampai di situ, hakim Haswandi beranggapan KPK telah melanggar prosedur penyidikan dengan menetapkan tersangka lebih dulu baru melakukan penyelidikan pada Hadi Poernomo dalam kasus Dugaan korupsi terkait keberatan pajak PT Bank BCA Tbk. Haswandi juga menyebut, penyidik KPK hanya boleh berasal dari Polri dan Kejaksaan.
Alhasil, tiga hakim tunggal yang seluruhnya berasal dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut membebaskan seluruh pemohon praperadilan dari status tersangka KPK.
“Putusan Haswandi itu bisa menghasilkan gugatan praperadilan lain serta gugatan perdata dari pihak-pihak yang merasa dirugikan atas penetapan tersangka oleh KPK,” kata Teuku Nasrullah, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia yang pernah membela politisi Partai Demokrat Angelina Sondakh dalam kasus korupsi Wisma Atlet.
Bahkan atas putusan Haswandi tersebut, Komisi III DPR akan merevisi UU No. 30/2002 tentang KPK guna mencegah adanya multitafsir pasal-pasal yang mengatur soal penyidik dan penyelidik lembaga tersebut.
Arsul Sani, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP, mengatakan revisi beberapa pasal tersebut bertujuan untuk mencegah adanya multitafsir pasal yang mengatur penyidik dan penyeldik KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. “Komisi III akan melakukan pengubahan UU tersebut pada 2016 atau setelah pimpinan KPK baru terpilih,” katanya.
Meski demikian, berangkat dari putusan hakim yang dianggap mampu melemahkan eksistensi KPK tersebut, justru memunculkan eksistensi lembaga pemberantas antikorupsi lainnya unjuk gigi merebut simpati masyarakat.
Sebut saja Direktorat Tindak Pidana Korupsi serta Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri.
Sejak kekalahan pertama KPK dalam preperadilan penetapan tersangka yang dimenangkan oleh Komjen Pol. Budi Gunawan, dua direktorat dibawah kendali Kabareskrim Komjen Pol. Budi Waseso tersebut telah memberkas kasus korupsi berskala besar antara lain, dugaan korupsi paymen gateway di Kementerian Hukum dan HAM yang melibatkan mantan Wamenkumham Denny Indrayana serta dugaan korupsi penjualan kondensat yang melibatkan BP Migas dan Trans Pacific Petrochemichal Indotama (TPPI).
Belum lagi, dugaan korupsi uninterruptible power supply (UPS) pada APBD 2014 DKI Jakarta yang diprediksi bakal menyeret puluhan anggota DPRD serta dugaan korupsi pencetakan sawah di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, pada kurun 2012 hingga 2014.
Tak mau kalah, Kejaksaan Agung juga membuat Satuan Tugas Khusus (satgasus) Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi meski kinerjanya masih lamban. Sejak dibentuk, Satgasus Kejaksaan baru memberkas politisi Partai Golkar Irianto MS Syaifudin yang akrab dipanggil Yance saat menjabat sebagai Bupati Indramayu.
Yance ditangkap atas tuduhan keterlibatannya dalam dugaan kasus korupsi pembebasan lahan seluas 82 hektar untuk pembangunan PLTU di Indramayu tahun anggaran 2006.
Prasetyo berkilah, pembentukan satgasus antikorupsi yang berkekuatan 100 jaksa tersebut diproyeksikan untuk menuntaskan kasus korupsi yang terbengkelai.
Terlepas dari polemik yang muncul disekitar membaiknya kinerja institusi Polri dan Kejaksaan yang hampir bersamaan dengan kekalahan KPK, ternyata masih ada jempol untuk tidak berhentinya pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Namun demikian, ada baiknya, KPK, Kejaksaan, dan Polri berjalan seiring menjadi lembaga trisula pemberantasan korupsi yang mampu memberikan kelegaan bagi publik untuk bisa melihat Indonesia bebas dari korupsi.