Kabar24.com, JAKARTA — Kementerian Dalam Negeri diminta untuk membangun sinergi dan koordinasi antarpemangku kepentingan dalam rangka memajukan hak asasi manusia, khususnya penghapusan diskriminasi agama dam keyakinan di Tanah Air.
“Peringatan hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei ini harus ditujukan untuk bangkit melawan praktik diskriminasi, kekerasan, atas dasar apapun,” kata Hendardi, Ketua Setara Institute dalam keterangan persnya, Rabu (20/5).
Sebagaimana diketahui, arus politik penyeragaman atas dasar agama dan moralitas telah menimbulkan kekerasan dan diskriminasi dalam berbagai bentuk.
Menurutnya, dalam kurun waktu delapan tahun, tercatat ada 1.680 peristiwa dengan 2.268 tindakan pelanggaran tersebut. “Jika dirata-rata, maka setiap tahun terjadi 210 peristiwa dengan 283 tindakan.”
Ismail Hasani, Direktur Riset Setara Institute, merinci bahwa sebagian besar peristiwa tersebut mengalami impunitas dan tidak diadili secara fairness dan memenuhi rasa keadilan.
Sementara, aktor pelanggaran dilakukan oleh aktor negara dan aktor nonnegara.
Dalam kurum waktu itu juga, Setara mencatat 316 tempat ibadah mengalami gangguan dengan derajat yang beragam, dari pembakaran, pengrusakan, gagal didirikan dengan alasan perizinan, dan lainnya.
“Dari 316 tempat ibadah tersebut terdapat 20 tempat ibadah aliran kepercayaan, 163 gereja, tiga klenteng, 110 masjid aliran keagamaan minoritas, satu sinagog, lima pura, dan 14 vihara.”
Selain itu, merujuk pada data Komnas Perempuan pada Agustus 2014, terdapat 365 kebijakan diskriminatif yang dibentuk atas dasar agama, dalil-dalil keagamaan misoginis, dan bertentangan dengan hak asasi manusia.
Dari 365 kebijakan tersebut terdapat 279 kebijakan yang langsung menyasar pada perempuan.
Adapun yang mendiskriminasi kelompok agama dan kepercayaan terdapat 40 kebijakan. Selain itu terdapat Qanun Jinayat Aceh dan Qanun Kemaslahatan dan Ketertiban di Aceh Utara yang hingga kini belum direspons oleh pemerintah.
Perda-perda diskriminatif yang lahir sejak kebijakan otonomi daerah digulirkan pada 1999 juga potensial direplikasi oleh otoritas desa yang melalui UU No. 6/2014 tentang Desa memiliki kewenangan membentuk peraturan desa, hingga dimungkinkan melahirkan perdes-perdes yang diskriminatif.
Fakta-fakta diskriminasi dan kekerasan tersebut hingga kini tidak memperoleh penanganan tuntas dari otoritas negara, termasuk Kementerian Dalam Negeri yang mempunyai kewenangan mengevaluasi peraturan daerah dan kewenangan dalam hal pendirian tempat ibadah bagi umat beragama.
Beberapa gagasan dan rencana kebijakan yang sempat diwacanakan terkait penghapusan kolom agama, RUU Perlindungan Umat Beragama, dan draft Rencana Aksi Hak Asasi Manusia (RANHAM) hingga kini belum mendapat perhatian serius pemerintah, yang semestinya bisa menjadi instrumen penghapusan diskriminasi atas dasar agama, moralitas, dan jenis kelamin.
Untuk itu, Setara meyakinkan Kemendagri untuk mengambil prakarsa dengan menyusun suatu desain komprehensif penghapusan diskriminasi agama/kepercayaan termasuk diskriminasi terhadap perempuan.
Menurut Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua Setara Institute, desain penghapusan diskriminasi akan menjadi pemandu penyusunan kebijakan yang berhubungan dengan isu itu termasuk menjadi pemandu tindakan para kepala daerah dan otoritas daerah lain dalam menangani kasus-kasus kekerasan atas nama agama termasuk perda-perda yang diskriminatif.
“Semua langkah itu adalah manifestasi dari kebangkitan nasional.”