Kabar24.com, JAKARTA — Menarik mencermati larangan parpol berkonflik menjadi peserta Pilkada serentak karena sangat berpotensi mengubah peta perpolitikaan nasional.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang telah disetujui melalui pleno internal itu semakin menjadi ancaman bagi Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang hingga saat ini masih terbelah menjadi dua.
Sesuai dengan PKPU, Golkar dan PPP tidak bisa ikut Pilkada sebelum mempunyai kepengurusan berkekuatan hukum tetap atau menempuh jalan islah agar bisa diteken Menkumham Yasonna H Laoly.
PKPU itu dinilai tidak wajar oleh DPR karena sebelumnya Panja Pilkada Komisi II DPR telah memberikan rekomendasi kepada KPU. Isinya, meminta KPU untuk memasukkan klausul: parpol berkonflik boleh menjadi peserta Pilkada hanya dengan putusan terakhir pengadilan.
Namun apa lacur, KPU mementahkan rekomendasi itu. Alasannya, KPU tidak ingin terjebak dan terseret dalam pusaran konflik dualisme kepengurusan Golkar dan PPP.
“Kami menetapkan, hanya pengurus yang yang sah dan berkekuatan hukum tetap yang bisa ikut pilkada,” kata Ida Budiati, salah satu Komisioner KPU.
Atas larangan itu, PPP kubu Romahurmuziy atau biasa disebut hasil Muktamar Surabaya, Jawa Timur, sudah berkeinginan menjajaki islah dengan kubu Suryadarma Ali, hasil Muktamar Jakarta, yang kini diwariskan kepada Djan Faridz.
“Kami sudah menjajaki islah demi kepentingan Pilkada,” kata Arsul Sani, Wakil Sekretaris Jenderal PPP kubu Romy, sapaan akrab Romahurmuziy.
Akan tetapi, langkah positif yang diambil PPP untuk menyelamatkan kepesertaannya dalam Pilkada justru tak diikuti Golkar. Kepengurusan Golkar kubu Agung Laksono dan kubu Aburizal Bakrie (Ical) masih sama-sama kukuh dengan pendirian masing-masing, tak mau akur hanya karena ambisi jabatan ketua umum.
Merasa banyak kawan di DPR, Golkar kubu Ical justru memutuskan untuk meminta bantuan kepada DPR untuk mendesak KPU agar mau memasukkan rekomendasi panja dengan jalan merevisi UU Pilkada sebagai payung hukumnya. “Kami minta klausul rekomendasi panja dimasukkan. Kami akan revisi UU Pilkada,” kata Rambe Kamarulzaman, Ketua Komisi II yang juga kader Golkar dari kubu Aburizal Bakrie (Ical).
Tak lama, Ketua Komisi II dan Golkar yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) lantas mengadu ke pimpinan DPR. Alhasil, Ketua DPR Setya Novanto, yang juga Wakil Ketua Umum Golkar kubu Ical lantas memerintahkan untuk berkonsultasi dengan pemerintah.
Bahkan selama masa reses, Komisi II yang berkepentingan dengan pilkada serta pimpinan DPR yang seluruhnya tersusun atas kader KMP memanggil Ketua dan Komisioner KPU. Semua dihadirkan untuk fokus membicarakan ancaman KPU kepada dua parpol itu.
Saat berbincang, KPU sebagai penyelenggara pemilu itu terus ditekan mengubah PKPU agar Golkar dan PPP tetap bisa menjadi peserta Pilkada. Namun KPU tetap kukuh pendirian dengan tidak mau mengubah PKPU. Alasannya, KPU adalah lembaga mandiri yang tidak bisa diintervensi pihak mana pun dalam menentukan aturan.
Tak puas dengan sikap KPU, DPR lantas memanggil Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo. Namun, sikap yang sama dilakukan dengan Tjahjo saat diundang DPR untuk membicarakan PKPU. Mendagri juga kukuh tak mau cawe-cawe jika KPU sebagai penyelenggara pilkada juga tak mau ikut membahas. “Selain itu, kita tunggu saja respons Presiden Joko Widodo [membahas revisi UU Pilkada]. Jokowi sebagai penentu akhir,” papar Tjahjo.
Hilang Suara
Atas penolakan secara tegas dari KPU dan Mendagri, nasib Golkar yang tak kunjung menginisiasi islah kian diujung tanduk. Kepala daerah incumbent yang berasal dari Golkar terancam tak bisa ikut Pilkada serentak gelombang I yang jika tidak ada aral melintang akan digelar pada 9 Desember 2015.
Namun demikian, masih ada jalan bagi incumbent jika ingin tetap maju dalam pilkada. Jalan pintasnya, para kepala daerah incumbent Golkar bisa hengkang lantas bergabung dengan parpol dengan platform yang sama.
Namun langkah menyeberang ke parpol lain itu jelas sangat berisiko menggerus suara Golkar dalam perolehan Pemilu Legislatif (Pileg) mendatang. Bagaimana tidak, kepala daerah yang biasanya menjadi magnet elektoral di daerah tak lagi berada di Golkar.
Siti Zuhro, Peneliti Politik dari Lembaga Ilmu dan Pengethuan Indonesia (LIPI) angkat bicara soal ancaman tergerusnya suara Golkar akibat implementasi PKPU. “Perolehan suara Golkar dalam Pileg 2014 sebanyak 14,75% suara itu bisa tergerus hanya karena absen dalam Pilkada 2015,” katanya.
Atas absennya Golkar dalam Pilkada, lanjutnya, ada banyak parpol yang diuntungkan. “Terutama PDIP sebagai musuh bebuyutan Golkar,” katanya.
Suara Golkar di daerah bisa saja melayang ke parpol peraih suara lima tertinggi dalam Pileg 2014. Antara lain ke PDIP dengan 18,95% suara; Gerindra dengan 11,81% suara; Partai Demokrat yang baru saja mengukuhkan kembali Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Ketua Umum dengan 10,19% suara, dan Partai Nasdem dengan 6,72% suara.
Untuk itu, perlu solusi super cepat dan bukan hanya fokus untuk menyelamatkan nasib para kepala daerah incumbent yang ingin mencalonkan lagi, tetapi untuk mempertahankan perolehan suara Golkar dalam Pileg 2019.