Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

KASUS IM2: Pakar Hukum Dorong Indar Ajukan PK

Pakar hukum pidana mendorong Indar Atmanto, Direktur PT Indosat Mega Media (IM2) untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) sesuai dengan pasal 263 dan 266 KUHAP.
Indosat Mega Media (IM2)/Ilustrasi
Indosat Mega Media (IM2)/Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA - Pakar hukum pidana mendorong Indar Atmanto, Direktur PT Indosat Mega Media (IM2) untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) sesuai dengan Pasal 263 dan 266 KUHAP.

Hal tersebut perlu dilakukan karena adanya dua putusan Mahkamah Agung yang saling bertentangan. Sementara itu, Indar saat ini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin hampir enam bulan lamanya.

"Jika dua putusan MA saling bertentangan, ya harus PK. Jadi [PK] inisiatif dari terpidana [Indar]. Ada khilafan yang nyata dari putusan hakim, tegas Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Trisakti Andi Hamzah, Selasa (24/2/2015).

Dia menjelaskan putusan pidana itu sama dengan putusan perdata, jika putusan pidana harus berdasarkan perbuatan yang didakwakan, pada putusan perdata berdasarkan apa yang digugat.

Menurutnya, hakim tidak boleh memutus yang tidak digugat. Oleh sebab itu, Andi mendesak Indar melakukan PK sesuai dengan Pasal 263 dan 266 KUHAP.

Dari fakta yang ada keputusan PTUN menyatakan laporan BPKP tidak boleh digunakan. Pengadilan Tinggi 28 Januari 2014, telah menguatkan keputusan PTUN yang telah memutus tidak sah dan menggugurkan keputusan BPKP bahwa ada kerugian negara Rp1,3 triliun.

Tetapi Majelis Hakim mengabaikan putusan sela PTUN yang menyatakan laporan BPKP tidak boleh digunakan.

Putusan MA, 21 Juli 2014, akhirnya juga menolak kasasi yang diajukan oleh BPKP, berdasar Putusan MA No.263/K/TUN/2014 (Putusan TUN yang menyatakan tidak sah Surat Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi No. SR-1-24/D6/01/2012 tanggal 9 November 2012.

Menurut Andi, dalam pertimbangan hukum dan amar putusan PN Tipikor, PT Tipikor dan MA Tipikor dalam perkara ini, terlihat dengan jelas adanya pertentangan dengan Putusan PTUN.

Perbedaan ini terlihat khususnya tentang alat bukti surat yang digunakan untuk membuktikan adanya salah satu unsur tindak pidana korupsi berupa kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam perkara ini berupa laporan hasil audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan negara yang dibuat oleh BPKP.

Laporan tersebut, oleh Putusan PTUN yg diperkuat oleh PT TUN dan dikuatkan lagi oleh MA TUN dinyatakan tidak sah sehingga putusan PN Tipikor selanjutnya PT Tipikor dan MA Tipikor mengandung cacat hukum.

Pertentangan kedua putusan tersebut dikarenakan baik PN Tipikor, PT Tipikor, maupun MA Tipikor menggunakan hasil audit BPKP tersebut untuk membuktikan adanya kerugian negara.

Oleh sebab itu, dengan adanya pertentangan putusan Pengadilan Tipikor dan Pengadilan TUN tersebut, dapat disimpulkan tidak ada satu alat bukti pada persidangan Pengadilan Tipikor yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan adanya kerugian keuangan negara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper