Kita menyaksikan sejumlah polisi yang bertugas di pengadilan Jakarta Selatan sujud syukur setelah keputusan hakim pada praperadilan mementahkan status tersangkan Komjen BG.
Fenomena ini menarik dicermati terutama dalam situasi kisruh antara Kepolisian dan KPK. Paling tidak ada beberapa hal yang perlu dikemukakan.
Polisi (minimal yang bertugas di pengadilan Jaksel tersebut) telah menunjukkan keberpihakan kepada Komjen BG. Padahal perkara BG tersebut sebenarnya bersifat pribadi bukan institusi.
Jika polisi berpihak kepada kasus komjen BG ini amat berbahaya dan bisa menjadi preseden buruk. Kenapa demikian? Karena nanti jika terdapat lagi oknum polisi yang dijadikan tersangka maka kembali akan terjadi kasus keberpihakan itu. Padahal sebagai aparat yang bertugas semestinya tidak boleh berpihak.
Selama KPK berurusan dengan oknum-oknum polisi yang menjadi tersangka kita ketahui kerapkali menjadi persoalan bahkan ketegangan antara KPK dan Kepolisian. Sehingga kita tahu istilah kriminalisasi KPK muncul akibat KPK membawa petinggi Polri dalam status tersangka.
Padahal kita tahu dalam pekerjaan operasionalnya KPK memang memerlukan tenaga polisi, misalnya tatkala menangkap tangan tersangka, melakukan penggeledahan dan lain-lain.
Manakala nantinya yang ditangkap tangan adalah oknum Pati Polri tentu akan sulit bagi KPK meminta bantuan aparat polisi karena yang akan ditangkap adalah pimpinan mereka.
Oleh karena itu kini sudah saatnya dipikirkan agar KPK memiliki aparat yang bukan polisi dan memiliki wewenang untuk menjalankan tindakan bersifat penangkapan dan penjagaan. Apakah itu dari TNI atau unsur lain tentunya diperlukan undang-undangnya.
Persoalan di atas muncul dikarenakan KPK juga mesti mengusut kasus-kasus korupsi penyelenggara negara termasuk kepolisian.
Pengirim
Aries Musnandar
Jln. Srigading Dalam Malang Jawa Timur