Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

KPK vs Polri, AGUS HERMANTO: KPK Jangan Libatkan TNI

Wakil Ketua DPR Agus Hermanto menilai rencana KPK untuk melibatkan TNI dalam menghadirkan saksi-saksi dalam penyidikan perkara calon Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan tidak perlu dilakukan karena dikhawatirkan akan memperkeruh suasana.
Wakil Ketua DPR Agus Hermanto/Antara
Wakil Ketua DPR Agus Hermanto/Antara

Bisnis.com, MATARAM - Wakil Ketua DPR Agus Hermanto menilai rencana KPK untuk melibatkan TNI dalam menghadirkan saksi-saksi dalam penyidikan perkara calon Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan tidak perlu dilakukan karena dikhawatirkan akan memperkeruh suasana.

"Di dalam undang-undang sudah diatur bagaimana batasan dan kewenangan TNI-Polri. Oleh karena ini permasalahan KPK dan Polri seyogyanya diselesaikan oleh kedua intitusi," kata Agus Hermanto di Mataram, Jumat (30/1/2015).

Menurut dia, jika ada permasalahan karena ketidakhadiran saksi-saksi dari Polri, KPK harus mampu menahan diri tanpa harus melibatkan TNI. "Ada cara-cara yang lebih bijak yang harus kita kedepankan. Kalau pun ada saksi-saksi yang tidak hadir segera komunikasikan dengan Polri," kata Agus yang tengah melakukan kunjungan ke NTB.

Sebaliknya, kata dia, "Saya juga meminta agar pihak kepolisian mendorong anggotanya hadir jika ada pemanggilan untuk menjadi saksi di KPK". "Kalau itu sudah dilakukan maka dengan sendirinya permasalahan ini bisa pula dituntaskan," katanya.

Sebelumnya, KPK mempertimbangkan untuk meminta bantuan TNI dalam menghadirkan saksi-saksi dalam penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait transaksi mencurigakan dengan tersangka mantan Kepala Lembaga Pendidikan Polri (Lemdikpol) Komisaris Jenderal Pol Budi Gunawan.

"Kami akan berkomunikasi dengan Presiden apakah bisa menggunakan kekuatan lain kalau memang tidak ada jaminan teman-teman di kepolisian sendiri bisa membantu KPK," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto di gedung Ombudsman Jakarta, Kamis (29/1).

KPK sendiri sudah memanggil 10 orang saksi yang sebagian besar anggota aktif Polri, namun hanya satu orang yang memenuhi panggilan, yakni Irjen (Purn) Syahtria Sitepu.

Bambang mengatakan, permintaan bantuan kepada TNI itu akan dilakukan dengan hati-hati. "Pasti KPK sangat berhati-hati, sesuai dengan aturan, tidak mau gegabah," kata Bambang.

KPK juga sudah berkomunikasi dengan Wakapolri Komjen Pol Badrodin Haiti mengenai upaya menghadirkan saksi yang dipanggil KPK. "Kepada Wakapolri kemarin sudah ada komunikasi, tapi isunya lain (terkait telegram rahasia). Kalau tidak salah sudah ada diskusi dengan Kompolnas dan Wakapolri. Kami akan menanyakan komitmen dan kesediaan itu," kata Bambang.

Saksi-saksi yang dipanggil tapi tidak memenuhi panggilan adalah Direktur Penyidikan Pidana Umum Badan Reseserse Kriminal Polri Brigjen Pol Drs Herry Prastowo; dosen utama Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian Kombes Pol Drs Ibnu Isticha; mantan Kepala Biro Perencanaan dan Administrasi Inspektorat Pengawasan Umum Polri Brigadir Jenderal (Purn) Heru Purwanto; mantan Wakil Inspektorat Pengawasan Umum Mabes Polri Inspektur Jenderal Pol Andayono yang sekarang menjabat Kapolda Kalimantan Timur.

Selain itu, Wakil Kepala Polres Jombang Kompol Sumardji; Aiptu Revindo Taufik Gunawan Siahaan; Widyaiswara Madya Sespim Lemdikpol Brigadir Jenderal Pol Budi Hartono Untung yang mantan Kapolda Bangka Belitung; anggota Polres Bogor Brigadir Polisi Triyono dan pihak swasta Liliek Hartati.

KPK juga memeriksa mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Hanura Susaningtyas NH Kertopati, seorang ibu rumah tangga Sintawati Soedarno Hendroto dan pegawai negeri sipil Tossin Hidayat.

Susaningtyas diketahui tidak dapat memenuhi panggilan karena sedang sakit.

Budi Gunawan diduga terlibat dalam transaksi-transaksi mencurigakan sejak menjabat Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi Sumber Daya Manusia di Mabes Polri 2003-2006 dan jabatan lainnya di Mabes Polri.

KPK menyangkakan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan berdasarkan pasal 12 huruf a atau b pasal 5 ayat 2 pasal 11 atau pasal 12 B UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk melakukan atau tidak melakukan terkait jabatannya.

Bila terbukti melanggar pasal tersebut dapat dipidana penjara seumur hidup atau penjara 4-20 tahun kurungan ditambah denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Redaksi
Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Antara

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper