Bisnis.com, JAKARTA -- Keputusan Presiden Joko Widodo memberhentikan Jenderal Polisi Sutarman dari jabatan Kapolri, dan mengangkat Wakapolri Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas mendapat perhatian pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra.
Berdasarkan Undang-undang Kepolisian, pasal 11, menurut Yusril, semestinya Presiden dan DPR mengetahui, pengangkatan serta pemberhentian Kapolri dilakukan dalam satu paket bukan dipisah.
"Sebab baik pengangkatan maupun pemberhentian Kapolri, kedua-duanya harus dengan persetujuan DPR," tulis Yusril dalam akun twitternya, @Yusrilihza_Mhd, Sabtu (17/1/2015).
Dia berpendapat pengangkatan dan pemberhentian wajib menyertakan alasan-alasannya. Jadi kalau Sutarman mau diberhentikan, maka Presiden ajukan permintaan ke DPR pemberhentian disertai alasannya.
"Begitu juga calon pengganti Sutarman harus diajukan permintaan persetujuan DPR disertai alasan-alasan, mengapa dia dicalonkan," katanya.
Dia mengatakan Presiden Joko Widodo tidak dapat memberhentikan Kapolri tanpa meminta persetujuan DPR. "Seperti sekarang dilakukan terhadap Sutarman," katanya.
Kecuali dengan alasan mendesak, Presiden dapat berhentikan Kapolri tanpa meminta persetujuan DPR. Alasan tersebut yaitu jika Kapolri melanggar sumpah jabatan atau membahayakan keamananan negara.
"Apakah Sutarman melakukan pelanggaran sumpah atau melakukan makar sebelum diberhentikan presiden? saya tidak tahu," katanya.
Jika keadaannya seperti demikian, maka presiden dapat memberhentikan Kapolri dan menunjuk Plt tanpa persetujuan DPR. Namun sesudah itu, presiden harus menjelaskan alasan pemberhentian mendesak itu.
Pada saat bersamaan, presiden harus meminta persetujuan DPR tentang pengangkatan Plt tersebut.
Selanjutnya presiden harus segera mengusulkan calon Kapolri defenitif untuk mendapat persetujuan DPR. “Bisa Plt tadi bisa calon lain.”