Dengan dalih keamanan dan ketertiban, Satpol PP merazia pedagang kaki lima di area Monumen Nasional (Monas) pada Sabtu pagi (27/12/2014). Seketika muncul pro dan kontra mengenai tindakan aparat keamanan ini. Di satu sisi, pedagang kaki lima mempunyai hak untuk berjualan demi untuk menafkahi dirinya dan anggota keluarganya.
Namun, di sisi lain PKL justru dianggap sebagai biang ‘kerusuhan’ karena jadi sumber sampah seperti plastik, botol minuman, dan sejenisnya.
Namun, apakah razia semacam itu efektif? Jika dikaitkan dengan sumber daya manusia yang dimiliki oleh mayoritas para PKL, maka hampir semua pedagang ini hanya berlatarbelakang tak lebih dari pendidikan sekolah menengah atas. Kebanyakan mereka adalah lulusan SD dan SMP, serta tak dibekali dengan life skill yang mumpuni.
Menghadapi persaingan antar tenaga kerja menjelang era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), dapat dipastikan para PKL tak mampu bersaing di tengah ketatnya arus globalisasi itu. Kemungkinan besar yang terjadi mereka akan kembali lagi menjadi PKL atau menjadi pengangguran baru.
Melonjaknya harga pajak bumi dan bangunan di Jakarta juga bisa menjadi pemicu tingginya tingkat pengangguran yang terjadi seusai raziaini. Menyewa toko atau ruko menjadi hal yang semakin mustahil bagi warga dengan tingkat ekonomi rendah, sehingga tidak ada pilihan selain kembali lagi menjadi PKL karena pemerintah tidak menawarkan alternatif lain pascarazia.
Pertanyaan selanjutnya, siapakah yang kemudian bertanggungjawab atas nasib pedagangpedagang kaki lima setelah barang dagangan mereka disita?
Sesuai dengan amanat yang disampaikan oleh Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, maka mantan PKL (pedagang yang lapak dan dagangannya disita oleh petugas keamanan) merupakan masyarakat yang tergolong sebagai fakir miskin dan mempunyai hak untuk segera dibekali pengetahuan life skill yang mumpuni demi menyongsong era globalisasi ini.
Balai latihan kerja (BLK) harus lebih digalakkan lagi demi mendorong masyarakat agar semakin kreatif dan memiliki wawasan ketenagakerjaaan.
Di samping itu, perbanyak area pasar tradisional dengan harga sewa terjangkau agar bisa menjadi alternatif.
Upaya preventif demi mendukung ketertiban perlu dilakukan, tapi perlu diperhatikan pula bahwa masyarakat berpenghasilan rendah ini masih mempunyai hak untuk mencari nafkah di atas bumi pertiwinya sendiri.
Pengirim
M.S. Munir
Tinggal di Jakarta Selatan