Bisnis.com, SANGGAU - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mewacanakan pembangunan dry port atau pelabuhan darat di perbatasan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, menyusul munculnya kesenjangan di wilayah yang berbatas darat langsung dengan Distrik Tebedu, Serawak, Malaysia itu.
Ketua MPR Zulkifli Hasan mengatakan kesenjangan sosial yang muncul itu akibat harga bahan pokok yang di Tebedu jauh lebih murah jika dibandingkan dengan Entikong. Di Tebedu, harga bahan pokok bisa lebih murah karena ada dry port.
“Ke depan, pengembangan harus sama dengan negara tetangga jika tidak ingin ada disparitas harga. Untuk itu, di sini harus dirancang pembangunan pelabuhan darat yang modern dan tidak tradisional lagi,” kata Zul saat mengunjungi pelabuhan darat milik Malaysia yang berada di kawasan perbatasan Entikong, Kamis (27/11/2014).
Pemerintah, tuturnya, harus memikirkan pengembangan kawasan perbatasan untuk 60 tahun mendatang. “MPR akan segera menggelar rapat gabungan terkait dengan pembangunan itu. Kita sudah terima masalahnya dari warga setempat, dan akan segera didiskusikan dengan pemerintah.”
Masalah kesenjangan harga antara Entikong dan Tebedu, juga diamini oleh daminaus, ketua dewan adat dayak yang bermukim di Entikong. “Harga elpiji bikinan pertamina bisa mencapai Rp600.000 per tabung ukuran 15 kg. Padahal milik malaysia hanya Rp150.000 dengan ukuran sama,” kata Damianus.
Selain Damianus, Gusti Akhmadiyah, Kepala Unit Pengelola Pos Pemeriksaan Lintas Batas Entikong, Badan Pembangunan Perbatasan dan Daerah Tertinggal Kalimantan Barat, mengungkap hal senada. “Di Malaysia, pelintas batas biasa membeli dengan harga Rp7.000-Rp8.000 per kg. Sementara di Indoensia, Rp12.000 per kg.”
Selain itu, paparnya, jarak antara Entikong dengan Serawak jauh lebih dekat jika dibandingkan dengan Pontianak. Perbandingan jaraknya antara sekitar 100 km dengan 350 km.
Jarak tempuh dan disparitas harga komoditas antara di Entikong dan Tebedu itu, papar Gusti mengakibatkan adanya pelanggaran perdagangan yang sudah biasa dilakukan oleh warga pelinas batas.
Sesuai aturan yang terbit pada 1973, paparnya, warga pelintas batas hanya memiliki fasilitas untuk membawa komoditas dari negara tetangga sekitar RM600. “Namun biasanya lebih,” katanya.