Bisnis.com, JAKARTA—Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meminta Kapolri untuk memastikan tidak ada tolerasi terhadap praktik tes keperawanan.
Menurut Komnas Perempuan, tes keperawanan merupakan tindak serangan seksual yang merendahkan derajat manusia dan diskriminatif terhadap perempuan.
Dalam pernyataan sikapnya yang dikutip Sabtu (22/11/2014), Komnas Perempuan menyatakan penghentian tes keperawanan ini juga perlu dilakukan oleh berbagai institusi lainnya, termasuk Tentara Nasional Indonesia, jika masih melangsungkan praktik serupa.
Melalui pernyataan sikap tersebut, Komnas Perempuan menjelaskan, meski hasil tes diklaim tidak memengaruhi lolos tidaknya seseorang sebagai calon anggota polisi wanita (polwan), praktik ini diskriminatif karena dilatari oleh prasangka berbasis gender yang merendahkan perempuan.
Tes keperawanan adalah tindakan memeriksa kondisi selaput dara yang kerap direkatkan dengan asumsi pernah tidaknya seorang perempuan melakukan hubungan seksual.
“Tes ini tidak memiliki kemanfaatan medis untuk menentukan kondisi kesehatan seseorang, melainlan lebih lekat pada prasangka mengenai moralitas perempuan dan dapat menimbulkan trauma bagi yang mengalaminya,” ujar Yuniyanti Chuzaifah, Ketua Komnas Perempuan.
Menurutnya, tes serupa hampir tidak mungkin dilakukan terhadap laki-laki, baik karena anatomi tubuhnya maupun karena secara sosiologis simbol kesucian dibebankan kepada perempuan, bukan laki-laki.
Komnas Perempuan juga mengecam sikap pejabat publik yang justru mendukung praktik diskriminatif, termasuk dalam tes keperawanan.
Komnas Perempuan berpendapat bahwa membiarkan praktik diskriminatif serupa tes keperawanan berarti mengingkari jaminan konstitusi pada hak warga negara, utamanya Pasal 28I Ayat 2 untuk hak bebas dari diskriminasi dan Pasal 28G Ayat 1 tentang hak atas perlindungan diri, harkat dan martabat, dan Pasal 27 Ayat 1 tentang hak kesamaan di hadapan hukum dan pemerintahan.
Sebab budaya penghakiman moralitas dapat memutus akses pekerjaan bagi perempuan korban kekerasan seksual, tes ini juga berpotensi melanggar Pasal 27 Ayat 2 dan Pasal 28D Ayat 2 tentang hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.