Bisnis.com, BANDUNG - Dinas Perkebunan Jawa Barat mendaftarkan merek Java Tea Preanger guna menghadapi persaingan di tingkat pasar teh ekspor.
Kadisbun Jabar Arief Santosa mengatakan saat ini pihaknya sedang menyusun dokumen Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) pembuatan nama “Java Tea Preanger” sebagai brand teh asal Jawa Barat di pasar internasional.
Penetapan nama ini saat ini sudah diajukan ke Kementerian Hukum dan HAM. “Kami targetkan akhir tahun ini selesai,” katanya di Bandung, Selasa (4/11/2014).
Dari hasil MPIG tersebut akan dibuat nama Teh Java Preanger sebagai brand internasional dan didaftarkan ke luar negeri. Dengan cara ini, Arief menilai posisi Jabar dalam persaingan di pasar teh internasional makin kuat. “Kalau sudah ada merek, tester di luar negeri bisa memastikan ini asli dari Jabar,” katanya.
Jabar sendiri di pasar ekspor teh mengalami kerugian yang cukup signifikan dari para pesaing. Menurutnya teh kualitas tinggi asal Jabar oleh para pedagang di luar dicampur dengan teh asal Sri Lanka atau Vietnam lalu diklaim sebagai teh Negara tersebut. “Ini tantangannya,” ujarnya.
Perkembangan teh asal Jabar sejauh ini menurutnya sudah semakin baik. Setidaknya ada 15 negara termasuk dari Eropa dan Afrika yang berlangganan teh produksi Jabar. Negara yang paling banyak mengimpor teh Jabar adalah London dan Maroko. “Permintaannya mencapai 80 ton untuk sekali impor. Pesaing kita adalah Kenya dan Sri Lanka,” katanya.
Arief menargetkan jika kualitas teh asal Jabar sudah tidak dipermainkan lagi para pedagang di luar negeri, maka posisi teh Indonesia di dunia bisa kembali menembus peringkat 5 besar. “Saat ini kita ada di posisi 7, minimal posisi 5 yang sudah pernah dicapai diraih kembali,” katanya.
Sementara itu, Kelompok Tani White Tea Barokah asal Kabupaten Bandung Yana Fauzie mengaku sulit memenuhi tingginya permintaan pasar terhadap teh putih. Dalam sebulan, permintaan terhadap teh putih produksi kelompok tani asal Ciwidey ini hampir mencapai 1 ton.
Bahkan permintaan dari Jepang pun mencapai 500 kilogram hingga kini sama sekali tidak bisa terpenuhi. Sementara permintaan yang baru bisa terpenuhi tidak lebih dari 10 kilogram.
"Karena lahan yang bisa kami tanami white tea tidak lebih dari 1 hektare saja. Panennya, bisa dua minggu sekali. Dengan satu kali panen maksimal 4-5 kilogram teh kering," katanya.
Sedangkan mengenai harga jual, teh yang menjadi minuman kerajaan Inggris itu dibanderol Rp3 juta per kilogram. Bahkan, untuk kategori ekspor bisa lebih tinggi lagi mencapai Rp6 juta per kilogramnya.
Dia menjelaskan, salah satu kendala yang dialami oleh petani teh adalah keterbatasan varietas white tea. Oleh karenanya, potensi yang cemerlang itu membuat sejumlah pihak berupaya mengembangkan varietasnya agar lebih mudah ditanam dan didapatkan.