Bisnis.com, BANDUNG -- Di tengah semakin terancamnya populasi sapi asli Jawa Barat atau yang lebih dikenal dengan nama sapi rancah karena perkawinan silang, Dinas Peternakan (Disnak) Jabar berupaya mengembangkan plasma nutfah untuk mengembalikan gen sapi asli Sunda tersebut.
Kepala Disnak Jabar Dody Firman Nugraha mengatakan populasi sapi rancah pada 2014 tercatat sebanyak 52.540 ekor yang tersebar di beberapa kabupaten yakni Ciamis sebanyak 535 ekor, Pangandaran 5.130 ekor, Tasikmalaya 7.231 ekor, Cianjur 10.346 ekor, Sukabumi 12.897 ekor, Garut 1.842 ekor, Purwakarta 2.788 ekor, Kuningan 7.218 ekor, dan Majalengka 4.553 ekor.
“Bahkan bukan hanya yang diternakan oleh masyarakat namun yang terdapat di hutan-hutan seperti Sancang Garut atau Ujungkulon populasinya masih banyak,” tuturnya kepada Bisnis, Jumat (3/10/2014).
Namun, lanjutnya, sapi rancah yang tersebar di daerah itu, sebagian besar sudah dilakukan perkawinan silang dengan jenis sapi lokal milik masyarakat sekitar.
Pihaknya kini tengah berupaya agar gen asli sapi rancah yang merupakan turunan banteng dikembalikan seperti aslinya yang lebih kekar dan berisi.
Menurutnya, sapi rancah dengan gen asli terdapat di kawasan hutan Sancang Garut, dan Ujung Kulon Banten serta di Kebun Binatang Bandung.
Doddy berharap, keberadaan sapi rancah gen asli itu dapat membantu upaya pemerintah mempercepat proses pengembangan sapi rancah di Jabar.
"Sifatnya tidak liar, mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Kita kembangkan pengembalian gen asli sapi rancah dengan pola pengawinan dengan gen sapi rancah yang asli serta dengan pola pengambilan sperma " katanya.
Dody memaparkan, jenis sapi rancah memiliki ciri yang tidak berbeda dengan sapi umum lainnya, atau mirip sapi bali.
Ciri khas sapi rancah yang menonjol, warna kulitnya coklat sedikit merah, bentuk badannya lebih kecil, kulit bawah kaki sapi berwarna putih atau seperti memakai kaos kaki.
Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) menilai selama ini pemerintah kurang serius dalam penanganan masalah pembibitan sapi rancah yang berpotensi dapat menjadi sapi khas Jabar.
Sekretaris Jendral PPSKI, Rochadi Tawaf mengatakan sejauh ini pembibitan sapi rancah belum mendapat banyak sentuhan dari pemerintah dan masih dilakukan secara mandiri oleh peternak rakyat.
"Belakangan pihak pemerintah memang mulai ikut menangani dengan upaya pemurnian bibit untuk menjaga kualitas, namun sebenarnya masih banyak lagi hal yang harusnya dilakukan oleh pemerintah," ujarnya.
Hal lain yang menurut Rochadi harus dilakukan pemerintah adalah perlindungan wilayah tertentu yang menjadi sumber bibit sapi rancah, yang kebanyakan tersebar di daerah hutan di kawasan Ciamis, Garut Selatan, dan Cianjur.
Menurutnya, para peternak di wilayah tersebut harus diberikan pemahaman agar tidak menyilangkan sapi rancah dengan sapi jenis lainnya sehingga merusak sumber bibit yang sudah ada.
"Setelah melakukan pemetaan, pemerintah harus membuat peraturan atau kebijakan sebagai bentuk dukungan akan pembibitan sapi rancah ini. Jadi, nantinya Jabar bisa seperti Bali yang memiliki kualitas sapi terjaga," sebut Rochadi.
Ia menjelaskan, daging sapi rancah ini juga dinilai memiliki potensi pasar yang cukup tinggi karena kualitasnya yang baik. Namun, karena ketersediaan yang terbatas maka harga pasar yang ditawarkan juga lebih tinggi.
Secara kualitas, sapi rancah memiliki berat yang tidak terlalu besar yaitu sekitar 300 kg-350 kg dengan kandungan lemak yang tidak terlalu banyak. Selain itu, Rochadi mengatakan daya tahan sapi rancah dapat lebih terjaga, karena cocok dengan iklim di Jabar.
"Harganya mahal karena ketersediaan terbatas, tetapi banyak peminat. Oleh karena itu jika sistem pembibitannya sudah tepat, maka yang diatur selanjutnya adalah pola distribusi," pungkasnya.