Bisnis.com, JAKARTA--Pemerintah telah menyiapkan opsi lain jika Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pilkada ditolak oleh DPR RI
"Sebelum Perppu itu terbit, tentu kami sudah mempertimbangkan dari berbagai aspek. Yang pasti, Perppu itu secara subjektif menjadi hak Presiden dan secara objektif ada di DPR. Biarlah objektif DPR itu kita lihat nanti setelah Perppu terbit," kata , kata Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi di Jakarta, Kamis (2/10/2014).
Ia menjelaskan penyusunan draf Perppu Pilkada didasarkan pada keputusan Mahkamah Konstitusi yang memuat tiga kriteria, yakni kebutuhan mendesak, kekosongan hukum dan perlunya kepastian hukum.
Ketiga kriteria tersebut terdapat dalam Putusan MK Nomor 138 Tahun 2009 atas permohonan pengujian Perppu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK terhadap UUD 1945.
"Kami berusaha memenuhi tiga kriteria tersebut, minimal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memperhatikan tiga kriteria itu," tambah Gamawan.
Terkait kekosongan hukum yang dikhawatirkan akan terjadi jika nanti DPR menolak Perppu tersebut, Mendagri menjelaskan akan ada alternatif lain untuk mengupayakan agar pelaksanaan Pilkada pada 2015 memiliki payung hukum.
"Kalau Perppu itu ditolak DPR, ya kita lihat nanti. Penolakan itu bukan berarti tidak ada rekomendasi, pasti akan ada tindakan atau solusi. Kalau ada kekosongan hukum akan terbit lagi Perppu," jelasnya.
Materi draf Perppu Pilkada yang disusun oleh Kemendagri tidak akan sama persis dengan draf Rancangan Undang-Undang Pilkada secara langsung yang pernah ditawarkan ke DPR RI.
"Pemerintah bisa menambah atau mengurangi seperti perbaikan yang disampaikan Partai Demokrat. Setidak-tidaknya satu hal ada yang berbeda, yakni terkait uji publik kandidat calon kepala daerah," jelas Mendagri.
Terkait uji publik kandidat calon kepala daerah, Fraksi Partai Demokrat mengusulkan dalam rapat paripurna DPR RI akan menyetujui mekanisme pilkada langsung, namun dengan sepuluh syarat perbaikan.
Kesembilan syarat tersebut sebelumnya telah diakomodasi Kemendagri dalam draf RUU Pilkada langsung, hanya satu pasal mengenai uji publik yang bertentangan.
Partai Demokrat menginginkan dalam pasal uji publik tersebut, kandidat calon kepala daerah harus memiliki sertifikat keterangan "lulus", untuk kemudian dicalonkan dalam bursa pemilihan.
TERGANJAL DPR
Seperti diberikan Bisnis, tiga mantan Hakim Konstitusi itu adalah Laica Marzuki, Harjono dan Maruarar Siahahan memprediksi Perppu Pilkada Langsung ini akan terganjal persetujuan DPR.
"Koalisi Merah Putih apakah akan memberikan persetujuan, karena menurut konstitusi Perppu harus mendapatkan persetujuan DPR," tuturnya.
Menurutnya, jika tidak ada persetujuan antara presiden dan DPR, maka Perppu itu harus dihentikan karena membuat undang-undang harus mendapatkan persetujuan bersama.
"Karena itu saya tidak begitu optimis dengan Perppu itu. Saya berpandangan bahwa Perppu ini upaya untuk menyelamatkan 'muka' presiden," kata Laica.
Hal yang sama juga diungkapkan Mantan Hakim Konstitusi Harjono yang mengungkapkan bahwa perimbangan komposisi kursi di DPR cenderung lebih banyak dari koalisi Merah Putih.
"Jadi itu mungkin tidak menerima Perppu itu," kata Harjono.
Dia juga mengatakan bahwa "mulusnya" Perppu ini tergantung lobi di DPR dan konsistensi Partai Demokrat serius untuk meneruskan Perppu Pilkada langsung ini menjadi UU.
Mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan mengatakan kekuatan DPR belum berubah dan sebaiknya mengajukan permohonan pengujian UU ke Mahkamah Konstitusi (mk.
Muruarar justru mempertanyakan rencana presiden menerbitkan Perppu kenapa tidak tidak menggunakan wewenangnya, di mana persetujuan presden menjadi penentu saat pembahasan rapat pleno DPR terhadap pengesahan RUU Pilkada menjadi UU.
"Waktu itu mendagri hadir sebagai pembantu presiden, kalau muncul itu han harusnya bilang tidak berikan persetujuan kan, nah kalau ini betul-betul suatu yang ikhlas," katanya.