Bisnis.com, TANGERANG—Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia Provinsi Banten mengatakan jumlah backlog—kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah yang dibutuhkan—di Banten mencapai 516.020 unit/tahun.
Sabri Nurdin, Ketua DPD Apersi Banten mengatakan total kebutuhan tempat tinggal di Provinsi Banten yang mencapai 531.020 tidak dapat dipenuhi oleh pengembang yang tergabung dalam asosiasinya. Karena, total produksi yang dapat diakomodir Apersi hanya 15.000 unit/tahun.
“Ini data riil backlog terakhir yang didapat. Jika perkiraan backlog nasional tahun ini naik menjadi 15 juta unit, maka besar kemungkinan total backlog perumahan di Banten lebih dari 600.000 unit,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (13/8/2014).
Akibat terbatasnya pasokan, sementara permintaan terus meningkat, tuturnya, secara otomatis mengerek harga rumah komersil di sejumlah daerah.
Kota Tangerang misalnya, sebagian besar lahan telah dikuasai oleh pengembang besar, akibatnya harga rumah komersial melambung tinggi.
Sementara bagi pengembang yang tergabung dalam Apersi, di mana 80% bergerak pada pembangunan rumah subsidi dengan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), selama ini terkendala kepastian hukum dan regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat.
Rata-rata masa tunggu dikeluarkannya regulasi baru menggantikan yang lama dari Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) bisa mencapai enam bulan. Hal ini yang mengakibatkan sejumlah pengembang menghentikan sejenak pembangunan perumahan.
“Kami menjadi sulit bergerak, kalau Permen [peraturan menteri] belum ditetapkan, maju takut salah, mundur kepalang tanggung karena sudah mendapatkan seluruh perizinan yang terkait pembangunan,” tuturnya.
Selain kendala kepastian hukum, posisi sejumlah daerah di Banten seperti Kab. Tangerang, Kab. Serang, Kota Serang dan Cilegon yang mulai dilirik oleh pengembang besar, meningkatkan aksi spekulan tanah yang menjual harga di atas batas kewajaran.
Padahal, jumlah permintaan rumah FLPP di Banten secara umum lebih tinggi ketimbang rumah komersial. Kenaikan harga tanah mengakibatkan harga yang ditetapkan Kemenpera untuk rumah FLPP menjadi kurang feasible.
Akibatnya, pengembang perumahan FLPP hanya dapat melakukan pembebasan lahan yang berlokasi jauh dari jalan utama. Dan hal ini mengurangi daya tarik perumahan di mata konsumen.
Selain itu, ungkapnya, kendala yang tidak kalah penting adalah proses perizinan hingga sertifikasi. Proses perizinan lokasi di Badan Pertanahan Nasional membutuhkan waktu cukup lama.