Bisnis.com, JAKARTA – Elektabilitas Jokowi sebagai calon presiden dinilai tak bergerak jauh dari kisaran 30 %.
Walau angka elektabilitasnya dinilai sudah mentok, lembaga survei Pusat Data Bersatu mendudukkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi sebagai calon presiden dengan elektabilitas paling tinggi.
Dengan indeks elektabilitas mencapai 31,8%, Jokowi jauh di atas elektabilitas capres lainnya.
Sementara tingkat elektabilitas kandidat capres lainnya berdasar jawaban responden adalah sebagai berikut:
- Prabowo Subianto 12,8%
- Dahlan Iskan 5,8%
- Wiranto 5,6%
- Jusuf Kalla 3,3%
- Megawati Soekarnoputri 2,8%
- Aburizal Bakrie 2,2%
- Anies Baswedan 2,2%
- Mahfud MD 1,7%
- Hidayat Nur Wahid 1,3%
- Rhoma Irama 0,8%
- Gita Wirjawan 0,8%
- Hatta Rajasa 0,6%
- Chairul Tanjung 0,3%
- Pramono Edhie Wibowo 0,3%
- Marzuki Alie 0,3%
- Calon lainnya 0,6%
- Tidak jawab 27%.
Chairman PDB Didik J Rachbini mengatakan elektabilitas Jokowi sudah berhenti pada kisaran 30% saja.
Walau mentok, jumlahnya sangat signifikan, bahkan pada enam bulan terakhir turun dari 36% ke 31,8%.
"Delapan kali survei, Jokowi itu stagnan tidak berubah terlalu banyak," kata Didik dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (21/2/2014).
Penurunan tersebut karena program Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta banyak dikritik.
Seperti bus karatan, pedagang blok G Tanah Abang kembali turun ke jalan, dan persoalan menekan kemacetan dengan proyek MRT dan Monorel yang belum kelihatan progresnya.
Sebaliknya, capres dari Gerindra Prabowo Subianto justru meningkat signifikan dalam enam bulan terakhir dari 6,6% menjadi 12,8%.
Prabowo gencar mengeluarkan dana untuk iklan sehingga efektif untuk meningkatkan elektabilitas dan popularitasnya di tengah masyarakat.
Menurut Didik, survei ini dilakukan melalui wawancara telepon 7-10 Februari 2014 dengan responden 1.200 orang mewakili masyarakat pengguna telepon 15 kota besar di Indonesia.
Margin of error survei ini berada pada kisaran plus minus 2,8% pada tingkat kepercayaan 95%.
"Survei ini tidak mewakili penduduk Indonesia secara keseluruhan, tetapi menggambarkan masyarakat perkotaan yang memiliki telepon residensial, alias masyarakat kelas A," ujar Didik.