Bisnis.com, JAKARTA--Menjadi pemimpin, khususnya pemimpin puncak ternyata tidak selalu serba enak. Gunjingan, gossip, bahkan fitnah sering kali menyerang.
Tak hanya kepada sang pemimpin itu sendiri gunjingan, fitnah dan gossip di arahkan, tapi juga kepada keluarganya. Entah apa sebabnya dan bagaimana sejarahnya, tapi yang pasti kondisi seperti itu sudah terjadi sejak dulu hingga sekarang.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengalami hal seperti itu. Namun kesabaran telah membuatnya tegar menghadapi badai fitnah tersebut. “Oleh karena itu, sebagaimana yang saya dan keluarga rasakan, pemimpin disamping harus sabar juga harus tegar menghadapi semua itu,” pesan Presiden SBY dalam buku Selalu Ada Pilihan (SAP) halaman 162.
Dalam buku yang ditulis sendiri dan diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas”(2014) itu, Presiden SBY mengungkapkan serangan gossip yang ditujukan kepada beliau dan keluarganya datang bertubi-tubi. Terutama menyangkut kecurigaan adanya bisnis yang dijalankan keluarga.
“Tentu yang dimaksud adalah bisnis yang tidak benar. Bisnis karena fasilitas. Bisnis APBN,” tuturnya presiden dalam buku tersebut sebagaimana disarikan oleh Seskab di laman instansi tersebut, Rabu (19/2/2014).
SBY menceritakan pernah suatu kali ada pesan pendek (SMS) yang ditujukan kepada Ibu Negara Ani Yudhoyono. Isi SMS itu; “Bu, apa benar ada bisnis Ibu di tambang batu bara?”.
Tentu Ibu Ani dengan nada jengkel balik bertanya, siapa yang menggosipkan itu? Bisnis batu bara di mana? Ternyata, usut punya usut, adalah orang yang kasak kusuk di daerah untuk mendapatkan konsesi tambang dengan mengatasnamakan Cikeas.
Itu gosip yang menyerang Ibu Ani. Yang tak kalah serunya adalah gossip yang menyentuh Presiden SBY secara langsung. “Yang lumayan seru adalah gosip tentang bisnis saya di Pertamina. Tepatnya, saya digosipkan ada bisnis di Pertamina yang kemudian katanya ada setoran ke Cikeas,” tulis SBY.
Berita itu merebak di awal 2012. Cukup serius, karena juga ramai dipergunjingkan di social media. Sampai kemudian, ada seorang purnawirawan Mayor Jenderal TNI yang juga sahabat SBY datang dan mempertanyakan gosip tersebut.
Ketika dibantah SBY, sang purnawirawan melanjutkan; “Benar. Bukan Anda yang berbisnis, tapi katanya ada seseorang yang menjalankan bisnis jual beli minyak. Kemudian mereka diminta setor ke Cikeas,” jawab sahabat SBY itu.
“Jahat benar orang-orang itu. Kawan, 1000% berita itu tidak benar. Bukan hanya 100%. Saya ini keras pada urusan seperti itu. Termasuk menjaga jangan sampai ada benturan kepentingan saya. Atau conflict of interest ,” tegas Presiden.
Dia juga meneritakan dalam buku tersebut bahwa Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi dan Sekretaris Kabinet Dipo Alam juga kesal karena mendapatkan informasi seperti itu. Bahkan Sudi Silalahi menyatakan kekesalannya dan langsung menelpon pejabat terkait ihwal berita fitnah tersebut dan menegaskan kalau ada berita fitnah jangan diam saja tapi berikan penjelasan.
Sudi Silalahi adalah sahabat SBY yang menemani SBY sebagai Presiden selama 9 tahun dan 8 tahun menemani SBY di dunia militer. “Jadi saya tahu persis hal-hal seperti itu jauh dari kehidupan beliau,” ujarnya di halaman 163 buku SAP.
Presiden SBY dan keluarga tentu merasa tersakiti dengan fitnah tersebut. “Meskipun saya dan istri sebenarnya sudah kebal, tetap saja jengkel. Saya pikir manusiawi. Presiden manusia biasa. Saya malah menjadi tidak jujur kalau mengatakan tidak perah kesal. Tidak pernah marah. Tidak pernah sedih. Tidak pernah merasa terhina. Dalam raga saya ada hati, dalam jiwa saya ada rasa.”
Presiden SBY menilai para pembuat fitnah itu adalah orang-orang ‘kreatif’. Namun sayangnya, kreativitasnya itu tidak membawa manfaat bagi bangsa dan sebaliknya hanya membikin keonaran sosial serta menambah dosa.
Memang, sangat sayang kalau energi yang seharusnya dihabiskan Presiden untuk membangun bangsa dan negara ini dihabiskan untuk urusan fitnah seperti itu.
Seperti beberapa tahun sebelumnya, ada buku berjudul Gurita Cikeas yang ditulis George Aditjondro, dan menjadi gunjingan sebagian masyarakat. Tapi SBY dan keluarga memilih untuk menyikapi dengan santai. Tidak naik pitam. Karena akurasi dan fakta ilmiah dari buku itu tak terpenuhi. Presiden tidak merasa perlu menanggapi.
Presiden tidak ingin waktu, pikiran dan tenaganya habis untuk mengurusi hal yang begitu. Padahal waktu dan pikiran Presiden sangat terbatas untuk menjalani tugas mengatasi masalah yang dihadapi pemerintah untuk terus membangun negeri ini.