Bisnis.com, PELALAWAN--“Anak-anak di sini sudah kelas 4 tapi membaca saja masih terbata-bata,” ujar Bu Nurhamimah, salah satu guru SD Negeri 011 Sering Barat yang berlokasi di Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, pada Sabtu siang (23/11/2013).
Bu Nur mengatakan di sekolahlah anak-anak itu (ternyata) benar-benar baru mengenal cara memegang pensil dan belajar membaca. Sayangnya, ketiadaan buku-buku bacaan yang bermutu sekaligus menghibur, membuat mereka tidak semangat belajar.
Kondisi itu nyata terjadi di SD yang lokasinya tidak jauh dari Pangkalan Kerinci, ibukota Kabupaten Pelalawan. Kisah ini tentu hanyalah salah satu dari jutaan kisah sedih lainnya tentang potret dunia pendidikan di Indonesia.
Nama Pelalawan sendiri mungkin tidak akan ‘berbunyi’ di telinga sebagian besar orang Indonesia, jika saja tidak ada kompleks perusahaan besar di sana, yaitu PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).
RAPP merupakan salah satu unit usaha dalam grup Royal Golden Eagle (RGE) yang dipimpin oleh Sukanto Tanoto. Kehadiran suatu industri besar di sebuah daerah—termasuk RAPP di Pelalawan, praktis ikut membantu menggerakkan perekonomian daerah setempat.
Dan sebenarnya tidak terbatas pada perekonomian saja. Kehadiran perusahaan juga turut membantu meningkatkan kualitas hidup penduduk setempat, karena menyinergikan antara planet-people-profit sepertinya sudah menjadi rumusan umum bagi perusahaan mana pun.
Kembali ke sekolah tadi, maka wajar jika dinding SD Negeri 011 Sering Barat penuh dengan hiasan dari cat yang bertuliskan ucapan terimakasih kepada RAPP, Asian Agri, dan Tanoto Foundation yang telah merenovasi sekolah dan mengoptimalkan fungsi perpustakaan.
Tanoto Foundation (TF) merupakan lembaga nirlaba yang didirikan oleh Sukanto Tanoto dan Tinah Bingei Tanoto pada 2001. Lembaga itu mendukung upaya pengentasan kemiskinan melalui pendidikan, pemberdayaan, dan peningkatan kualitas hidup.
Medi Yusva, Regional Project Manager Tanoto Foundation, mengatakan saat datang ke SD ini pada 2011, kondisi sekolah cukup memprihatinkan. Perpustakaan yang ada di sini hanya berisi tumpukan buku-buku paket pelajaran yang membosankan bagi anak-anak.
“Lalu kami tawarkan program pelita pustaka untuk mengelola perpustakaan dan untuk menumbuhkembangkan minat baca,” ujarnya.
Namun program itu tidak serta-merta mulus begitu saja. Bu Nur selaku pengelola perpustakaan mengatakan guru-guru juga harus kreatif demi membangkitkan semangat anak-anak agar mau belajar membaca.
“Anak-anak kami sulit membaca, sudah kelas 4 tapi masih terbata-bata. Kadang kami kehilangan akal juga. Kalau sekolah ini lagi kebanjiran, anak-anak lebih suka menangkap ikan di sini dan menjahili kami guru-gurunya...hahahhaa..,” ujarnya sambil berseloroh.
Padahal, anak-anak yang sekolah di SD Negeri 011 Sering Barat ini tidak dipungut biaya sama sekali untuk sekolah. Tri Iriana, guru lainnya mengatakan kebanyakan anak-anak yang sekolah di sini adalah anak-anak nelayan, yang 70% orangtuanya juga tidak bisa membaca.
“Kami juga tidak bisa mendesak orangtua mereka untuk membeli buku. Bahkan ada anak yang berhenti sekolah karena tidak bisa membaca. Kami ngga bisa menyalahkan orangtuanya juga,” ujar Bu Tri.
Sekarang, anak-anak sangat minat membaca, terutama buku-buku dongeng. Buku-buku di perpustakaan kini juga dipakai untuk materi pembelajaran, tidak hanya digunakan atau dibaca saat waktu senggang saja.
Setiap 3 bulan sekali, buku-buku dari TF itu akan diputar atau dipinjamkan di antara SD Negeri 011 Sering Barat dan 5 sekolah lainnya. Sekali rolling ada 97 judul buku baru setiap 3 bulan. Anak-anak selalu menyerbu begitu kotak-kotak berisi buku baru itu datang.
“Sekarang, anak-anak minat sekali membaca, terutama buku dongeng. Anak-anak yang kelas 4, kelas 5, itu sekarang sudah masuk ke tahap memahami [bacaan], tidak terbata-bata lagi,” ujar Bu Maryati, guru lainnya.
Saat ini, SD Negeri 011 Sering Barat memiliki 99 orang siswa dari kelas 1 sampai kelas 6, dengan jumlah tenaga pengajar sebanyak 10 guru dan 1 orang kepala sekolah. Anak-anak masuk kelas mulai pukul 07.30 WIB sampai 12.30 WIB.
Anak-anak masuk setiap Senin—Sabtu, namun setiap Sabtu kegiatannya hanya olahraga, tidak ada aktivitas belajar. Sayangnya sekolah ini sering kebanjiran dan kalau itu terjadi, sekolah terpaksa diliburkan. Sekolah ini dibangun pada 1994 dan dioperasikan pada 1996.
Secara terpisah, Bupati Pelalawan HM Harris di sela-sela acara pemecahan rekor MURI untuk pembuatan alat peraga pembelajaran terbanyak oleh guru, mengaku pihaknya sudah mengalokasikan 23% dari APBD untuk pendidikan.
“Kalau dilihat dari anggaran APBD Pelalawan itu Rp2 triliun. Untuk pendidikan itu sudah lebih dari 20% [seperti yang diwajibkan],” ujarnya.
Harris mengatakan memang masih ada beberapa sekolah yang kondisinya memprihatinkan. Namun sebenarnya, pemerintah sudah menggratiskan biaya bagi anak-anak SD untuk sekolah. Dan itu bukan hanya bagi SD negeri saja, tapi juga swasta.
Pada kesempatan yang sama, Sekda Provinsi Riau Zaini Ismail mengatakan di level propinsi pun sebenarnya sama. Ia mengaku 20% dari APBD Provinsi Riau sudah dipenuhi untuk pendidikan.
Menurutnya, Pemprov juga terus berupaya menghadirkan fasilitas yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatan pendidikan, termasuk membangun perpustakaan. Di Kota Pekanbaru sendiri sebagai ibukota Provinsi Riau, memang sudah ada perpustakaan yang megah.
“Kami juga sudah menganjurkan kabupaten/kota untuk membangun perpustakaan. Ini semua untuk memajukan dunia pendidikan kita,” ujarnya.
Anderson Tanoto, anggota Board of Trustee Tanoto Foundation, mengatakan Tanoto Foundation (TF) terus mendukung pengembangan kreativitas guru. Hal ini mendapat porsi utama dalam program pelatihan guru di daerah pedesaan.
“Tingkat kreativitas anak didik sangat ditentukan oleh sejauh mana guru memiliki kreasi dan inovasi,” ujarnya.
TF sendiri sudah menyelenggarakan program Pelita Pendidikan di 3 provinsi di Sumatra yaitu di Riau, Jambi, dan Sumatra Utara sejak 2010. Program Pelita Pendidikan adalah program peningkatan kualitas pendidikan pada sekolah dasar di wilayah pedesaan.
Di tiga provinsi tersebut, hingga saat ini TF telah membina 210 SD, merenovasi 94 ruang kelas, membangun 110 toilet di SD, dan melatih 2.500 guru SD.