BISNIS.COM, JAKARTA--Rencana penaikan harga bahan bakar minyak (BBM)bersubsidi oleh pemerintah dinilai tak akan memiliki dampak signifikan terhadap ongkos produksi industri nasional. Pasalnya, harga BBM hanya akan memengaruhi biaya transportasi atau distribusi industri.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani menegaskan penaikan harga BBM bersubsidi hanya akan meningkatkan biaya distribusi sebesar 0,5% hingga 2%, sedangkan untuk keseluruhan ongkos produksi hanya 1%.
"Hal ini berlaku hampir rata ke semua sektor industri yang memang memiliki komponen biaya distribusi baik bahan baku maupun barang jadi, tapi akan berdampak lebih besar terhadap industri padat karya seperti makanan dan minuman serta tekstil," ujar Franky saat dihubungi pada Minggu (16/6/2013).
Franky memaparkan saat ini akibat rencana penaikan harga BBM bersubsidi, ada dua isu yang tengah dihadapi industri nasional yakni ekonomi biaya tinggi dan menurunnya daya saing industri nasional.
Adapun masalah ekonomi biaya tinggi tengah terjadi akibat belum ada kepastian mengenai penaikan harga BBM. Hal ini mengakibatkan spkeluasi terus terjadi di lapangan dan antrean pengisian BBM di SPBU terus berlangsung hingga produktivitas transportasi menurun. Ditambah lagi pembatasan penggunaan BBM.
Untuk penurunan daya saing industri nasional, Franky berharap pemerintah lebih memerhatikan pasokan energi untuk industri.Lebih lanjut, menurut Franky, dampak penaikan harga BBM tersebut hanya akan terasa selama sekitar 3 bulan. Memasuki puasa dan Lebaran, masyarakat sudah akan melakukan penyesuaian terhadap dampak penaikan ini.
Hal senada disampaikan Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat. Tekstil merupakan salah satu industri padat karya yang terkena dampak lebih besar dibandingkan sektor lainnya. "Memang berpengaruh ke biaya distribusi bahan baku dan pemasaran barang jadi. Dampak terhadap kenaikan ongkos produksi mencapai 3% - 4%," tuturnya.
Ade menyebutkan justru lambatnya pembangunan infratsruktur transportasi dalam negeri lebih berpengaruh terhadap kenaikan ongkos produksi dibandingkan dengan penaikan harga BBM. Dia mencontohkan, pada 2000, transportasi industri tekstil dari Bandung ke Tanjung Priok mampu tiga kali per hari, tapi saat ini hanya sekali.
"Selain itu, saya juga lebih khawatir terhadap daya beli masyarakat yang menurun akibat [harga] BBM naik," pungkas Ade.