Cari berita
Bisnis.com

Konten Premium

Bisnis Plus bisnismuda Koran Bisnis Indonesia tokotbisnis Epaper Bisnis Indonesia Konten Interaktif Bisnis Indonesia Group Bisnis Grafik bisnis tv

RUU Pemberantasan Perusakan Hutan Berpotensi Kriminalkan Masyarakat Lokal

BISNIS.COM, JAKARTA – Public Interest Lawyer Network menilai Rancangan Undang-undang tentang Pemberantasan Perusakan Hutan (P2H) akan mengkriminalkan masyarakat lokal sekitar hutan yang sehari-hari hidup dari hasil hutan.
Gloria Natalia Dolorosa
Gloria Natalia Dolorosa - Bisnis.com 31 Maret 2013  |  23:28 WIB
RUU Pemberantasan Perusakan Hutan Berpotensi Kriminalkan Masyarakat Lokal

BISNIS.COM, JAKARTA – Public Interest Lawyer Network menilai Rancangan Undang-undang tentang Pemberantasan Perusakan Hutan (P2H) akan mengkriminalkan masyarakat lokal sekitar hutan yang sehari-hari hidup dari hasil hutan.

Komisi IV DPR bersama Kementerian Kehutanan tengah membahas RUU tersebut dan menargetkan sah menjadi undang-Undang melalui Rapat Paripurna DPR pada April 2013.

Dalam siaran pers yang diterima Bisnis, Minggu (31/3/2013), Public Interest Lawyer Network menyatakan jika RUU Pemberantasan Perusakan Hutan disahkan akan terjadi kriminalisasi akibat timbulnya ketidakpastian hukum yang berasal dari pasal-pasal dalam RUU tersebut.

Dalam RUU itu tercantum banyak pasal “karet” yang menciptakan ketidakpastian hukum serta cenderung berpotensi disalahgunakan aparat keamanan dalam “menertibkan” masyarakat lokal sekitar hutan.

Dengan kata lain, pasal-pasal tersebut akan menghukum perbuatan pidana yang harusnya tidak perlu dipidana. Hal ini bisa dilihat dari sedikitnya lima pasal dalam RUU P2H yaitu pasal 19, 20, 21, 22, dan 25.

Dari pasal 83 RUU P2H terlihat bahwa negara sebetulnya memahami adanya masyarakat yang bertempat tinggal di dalam kawasan hutan.

Namun, ternyata masyarakat diberikan sanksi jika memanfaatkan hasil hutan. Padahal, seharusnya, ketika terdapat masyarakat lokal yang mengelola, maka masyarakat tersebut tidak dapat dipidana.

Jika mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45 Tahun 2012, RUU ini justru mengabaikan putusan MK tersebut dan mengembalikan keotoriteran pengurusan hutan.

Putusan MK secara implisit menyatakan bahwa pengurusan dan penentuan kawasan hutan yang selama ini otoriter karena tidak mempertimbangkan keberadaan dan eksistensi masyarakat.    (ra)

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini, di sini :

agraria ruu kehutanan hutan
Editor : Others

Artikel Terkait



Berita Lainnya

    Berita Terkini

    back to top To top