BISNIS.COM, JAKARTA--Article 33, lembaga pemantau transparansi sektor industri ekstraktif di Indonesia, menyatakan sedikitnya enam kabupaten dengan dana bagi hasil (DBH) tinggi justru juga memiliki angka kemiskinan yang relatif tinggi pula.
Ermy Ardhyanti, Koordinator Divisi Tata Kelola Industri Ekstraktif Article 33, menyatakan sejumlah sebab mengapa hal tersebut terjadi adalah masih adanya dugaan korupsi dan birokrasi yang bermasalah.
Padahal, sambungnya, industri ekstraktif adalah sesuatu yang tak dapat diperbarui dan memiliki keterbatasan waktu dalam menyumbang pendapatan daerah.
"Selain korupsi, masalah lain adalah salah kelola. Birokrasi yang sentralistik dan tertutup menjadi sistem yang menyuburkan praktik korupsi dan kebocoran anggaran pemerintah," kata Ermy kepada Bisnis, Minggu (10/3/2013).
"Karena sektor ekstraktif yang rumit. Mulai dari perijinan, kontrak, aturan harga, distribusi hingga penjualan serta bagi hasil, royalti dan pajak hingga pada rantai nilai penggunaan anggaran."
Salah satunya, papar Ermy, terjadi pada Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur yang menerima DBH sektor minyak dan gas (migas) pada tahun lalu sekitar Rp234 miliar. Namun, kabupaten tersebut justru sebelumnya menempati peringkat kemiskinan ke-5 di Jawa Timur pada 2008 yakni sekitar 576.927 jiwa.
Hasil analisis Article 33 menyatakan lima kabupaten lainnya adalah wilayah yang memiliki DBH di sektor migas, kehutanan dan tambang per tahun lalu.
Masing-masing adalah Kabupaten Indragiri Hulu, Riau (Rp382,84 miliar untuk migas), (Rp6,47 miliar untuk kehutanan), (Rp7,93 miliar untuk tambang) dengan angka kemiskinan 32.500 jiwa dari total populasi 376.578;
Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur (Rp2,22 triliun untuk migas), (Rp14,65 miliar untuk kehutanan), (Rp829,93 miliar untuk tambang) dengan angka kemiskinan 54.000 jiwa dari total populasi 626.286;
Kabupaten Musi Rawa, Sulawesi Selatan (Rp426,53 miliar untuk migas), (Rp922,08 juta untuk kehutanan), (Rp24,81 miliar untuk tambang) dengan angka kemiskinan 4.278 jiwa dari populasi 535.614;
Kabupaten Kota Baru, Kalimantan Selatan (Rp1,27 miliar untuk migas), (Rp412,48 juta untuk kehutanan), (Rp243,47 miliar untuk tambang) dengan angka kemiskinan 15.900 jiwa dari populasi 296.987;
dan Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur (Rp351,11 miliar untuk migas), (Rp50,15 miliar untuk kehutanan), (Rp350,97 miliar untuk tambang) dengan angka kemiskinan 16.427 dari populasi 165.9334.
"Sektor industri ekstraktif mempunyai waktu terbatas untuk menjadi penyumbang pendapatan daerah dan negara sehingga perencanaan daerah harus mampu mengantisipasi volativitas pendapatan dan memilih prioritas belanja yang tepat," kata Ermy.
Dia menuturkan berdasarkan suatu hasil studi, negara yang bijak menginvestasikan hasil sumber daya alamnya ke dalam aset produktif akan dapat menghindari 'kutukan' sumber daya alam.
Selain itu, papar Ermy, negara itu juga menjamin kesejahteraannya di masa depan. Article 33 juga mencatat hal serupa pada Kabupaten Blora, Jawa Tengah terkait dengan industri migas serta provinsi Papua dan Papua Barat dengan hal serupa.