Musim penerimaan siswa baru sebenarnya dimulai pada Mei-Juni nanti, pas siswa sudah memasuki libur panjang tengah semester.
Namun, cukup banyak juga sekolah, terutama swasta, yang sudah membuka pendaftaran sejak November, bahkan saat ini sudah menutupnya.
Wajar saja, di Depok misalnya, sekolah, terutama SDIT (sekolah dasar Islam terpadu) merasa percaya diri dengan membuka pendaftaran sejak awal agar bisa segera mengisi pundi-pundi keuangannya.
Orang tua pun sangat antusias karena khawatir anaknya tidak dapat sekolah, maka bisnis jualan formulir pun sangat marak.
Formulir yang dijual sekitar Rp150.000-Rp200.000 bisa habis terjual dalam waktu dalam beberapa minggu saja dengan jumlah yang terjual sampai tiga kali lipat dari kapasitas siswa yang diterima. Benar-benar menggiurkan. Sekolah swasta pun dapat 'uang cepat' sekitar Rp70 juta hanya dalam waktu seminggu.
Tidak adanya ketentuan dari pemerintah, semisal adanya batas atas dan bawah untuk harga formulir, dalam hal ini Kemendikbud dalam mengatur biaya pendaftaran siswa sekolah dasar hingga menengah menjadikan sekolah, terutama swasta menjadi jor-joran dalam mengutip uang dari orangtua wali murid.
Belum lagi apabila calon siswa tersebut akhirnya diterima di sebuah sekolah, maka orang tua murid setingkat SD saja, harus menyiapkan antara Rp10 juta-Rp20 juta. Adapun untuk tingkat TK adalah antara Rp5 juta-Rp10 juta.
Alokasi pendidikan sebesar 20% dari APBN dinilai hanya jargon politik semata, karena sama sekali tidak ada usaha dari pemerintah untuk menurunkan biaya pendidikan.
Dalam praktiknya tidak sampai 50% anggaran itu benar-benar untuk peningkatan mutu pendidikan. Lebih banyak untuk belanja pegawai, belanja alat sekolah, dana BOS, yang pertanggungjawabannya kurang dapat dipertanggungjawabkan.
Alih-alih ingin mencerdaskan bangsa , pemerintah malah melepas status Perguruan Tinggi Negeri menjadi Badan Usaha Pendidikan yang membuat perguruan tinggi berlomba-lomba mematok tarif yang setinggi langit.
Tak tanggung-tanggung, untuk mengkuliahkan anaknya, orangtua siswa harus menyiapkan puluhan juta hingga ratusan juta. Bila memikirkan hal ini, sangat miris dan terancam jutaan anak usia produktif tidak sekolah.
Situasi demikian terjadi karena pemegang kebijakan masih menganggap investasi pendidikan hanya dianggap membuang uang. Padahal di negara lain, pendidikan dijadikan sebagai investasi jangka panjang untuk membangun SDM demi kepentingan pembangunan ekonomi.
Alokasi pendidikan di sejumlah negara lainnya jauh di atas Indonesia. Seperti di Australia sebanyak 46% dari APBN, Malaysia 26%, Singapura 32%, dan Amerika Serikat hingga 68%.
Ironinya, sistem pendidikan yang tidak berpihak kepada masyarakat banyak, diperparah dengan kualitas pendidikan yang jauh dari kategori baik. Konyolnya, masyarakat membayar biaya pendidikan yang mahal, namun tidak setimpal dengan kualitas yang didapat.
Baik pemerintah maupun penyelenggara pendidikan, sama-sama tidak memiliki tanggung jawab. Atas kondisi demikian, pemerintah dan DPR sebaiknya serius menambah dalam menanggung lebih besar biaya pendidikan untuk masyarakat.
Pembebanan biaya pendidikan kepada siswa harus disikapi dan diperhatikan baik-baik oleh presiden karena ini bagaimanapun terkait dengan target untuk mencapai dan memberikan hak-hak warga negara atas pendidikan.
Hal ini jelasnya juga sesuai dengan pasal 28 UUD 45 bahwa tercapainya hak-hak pemajuan, pemenuhan, penegakan dan perlindungan hak asasi manusia termasuk didalamnya adalah hak pendidikan ada pada presiden.([email protected])