Bisnis.com, JAKARTA — Adanya pasal yang dinilai diskriminatif oleh pelaku usaha, terutama asing, membuat wacana untuk merevisi Undang-Undang No.13/2016 tentang Paten muncul.
Saat ini, pemerintah belum menemukan solusi untuk merumuskan kebijakan turunan Pasal 20 UU Paten yang isinya terkait dengan pelaksanaan paten.
Pasal 20 ayat (1) berbunyi: Pemegang paten wajib membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia.
Adapun pada ayat (2) dinyatakan: Membuat produk atau menggunakan proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menunjang transfer teknologi, penyerapan investasi dan/ atau penyediaan lapangan kerja.
Dalam perkembangan terakhir, Kemenkumham justru menyuarakan untuk merevisi substansi Pasal 20 UU No.13/2016, diabandingkan meneruskan ide sebelumnya yakni membuat peraturan presiden.
Direktur Paten, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST) dan Rahasia Dagang, Kemenkumham Dede Mia Yusanti mengatakan penyusunan peraturan presiden dan sebagai kebijakan turunan undang-undang dianggap bertentangan.
Baca Juga
“Tapi masih tetap diusahakan, karena menurut info dari Kemenko Perekonomian, pembuatan Perpres menjadi salah satu prioritas mereka dan Sekretariat Kabinet,” tuturnya kepada Bisnis, Senin (20/11/2017).
Kementerian sendiri menilai Pasal 20 yang mengupas soal pelaksanaan paten sudah seirama dengan Pasal 7 TRIPS Agreement. Disebutkan perlindungan dan penegakan hak kekayaan intelektual harus berkontribusi pada promosi inovasi teknologi dan transfer dan diseminasi teknologi, untuk saling menguntungkan produsen dan pengguna teknologi.
Hanya saja, di dalam Pasal 27 TRIPS Agreement, hak paten yang diberikan dilarang diskriminasi terhadap tempat penemuan, di bidang teknologi, apakah produk tersebut diimpor ataupun diproduksi secara lokal.
Respons dan protes dari pelaku usaha Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan lainnya pun mengalir. Setidaknya ada beberapa pasal dalam UU No.13/2016 yang dikritisi, a.l. Pasal 4 (kelayakan subjek paten), Pasal 20 (persyaratan pembuatan di dalam negeri), Pasal 78 (perjanjian komersial lisensi hak kekayaan intelektual) serta Pasal 82 – 120 (mengenai lisensi wajib).
Dede mengaku, dalam diskusi antar pemangku kebijakan, yang menganggap ada pertentangan adalah Kementerian Sekretaris Negara apabila penerbitan kebijakan setingkat Perpres digunakan untuk menjelaskan UU.
“Kemenkumham sendiri tidak dapat bergerak kalau belum ada persetujuan Sekneg,” tambahnya.
Dede sendiri lebih memilih untuk merevisi UU No.13/2016 daripada menyusun Perpres terkait pelaksanaan paten. Pasalnya, keberadaan Perpres hanya sebagai jembatan sebelum revisi undang-undang yang akan memakan waktu lama.
Sebelumnya, Kemenko Perekonomian menyarankan Kemenkumham tidak tergesa-gesa menerbitkan kebijakan turunan soal pelaksanaan paten agar tak berseberangan dengan perjanjian internasional, yang menimbulkan keraguan investor dalam kepastian hukum.
Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Rizal Affandi Lukman mengatakan isu tentang paten sudah menjadi sorotan internasional. Menurutnya, semangat nasionalisme dalam UU No.13/2016 tentang Paten memang terasa kental, tetapi tetap menyesuaikan dengan kebijakan internasional tentang Paten.
“Untuk kepentingan kita tentu inginnya ada investasi alih teknologi, tapi memang harus hati-hati. Karena dalam perjanjian lain [Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights], sudah disebutkan tidak boleh ada diskriminasi,” tuturnya.