Kabar24.com, JAKARTA - Sebuah petisi rahasia yang menuntut referendum kemerdekaan baru untuk Papua Barat telah dipresentasikan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Mengutip laman www. Abc.net.au, Kamis(28/9/2017), Pemerintah Indonesia melarang petisi tersebut di Provinsi Papua Barat dan Papua, mengancam bahwa mereka yang menandatanganinya akan ditangkap dan dipenjara.
Namun, dokumen tersebut diselundupkan di antara desa-desa, dan telah ditandatangani oleh 1,8 juta penduduk Papua Barat, lebih dari 70 persen penduduk provinsi tersebut.
Petisi tersebut menuntut pemungutan suara bebas mengenai kemerdekaan Papua Barat serta pengangkatan perwakilan PBB, untuk menyelidiki laporan pelanggaran hak asasi manusia oleh pasukan keamanan Indonesia.
Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasseh Sogavare, mengatakan bahwa petisi tersebut sangat penting dan masyarakat Papua Barat secara efektif telah memilih untuk menuntut penentuan nasib sendiri.
Sedangkan, Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop mengatakan, bahwa Australia telah lama mengakui kedaulatan Indonesia atas provinsi-provinsi di Papua.
"Ini adalah posisi bipartisan di Australia, digarisbawahi oleh Perjanjian Lombok antara Australia dan Indonesia yang mulai berlaku tahun 2008," katanya.
"Kedaulatan Indonesia juga diakui secara luas oleh masyarakat internasional."
Komentar Jubir Benny
Juru bicara Gerakan Pembebasan untuk Papua Barat Benny Wenda mengatakan bahwa penandatanganan petisi tersebut merupakan "tindakan berbahaya" bagi orang Papua Barat, dengan 57 orang ditangkap karena mendukung permohonan tersebut, dan 54 orang disiksa oleh pasukan keamanan Indonesia selama kampanye berlangsung.
Jason Macleod, dari Departemen Studi Perdamaian dan Konflik Universitas Sydney, mengatakan bahwa petisi tersebut perlu dipahami sebagai "penolakan mendasar" klaim kedaulatan Pemerintah Indonesia atas Papua Barat.
"Dengan cara yang sangat jelas dan langsung, petisi tersebut mewakili permintaan orang Papua untuk dekolonisasi dan penentuan nasib sendiri, keinginan mereka untuk secara bebas dan adil menentukan masa depan mereka sendiri," kata Macleod.
Komentar PBB
Secara terpisah, Wakil Tetap/Duta Besar Venezuela untuk PBB, Rafael Ramirez telah menyampaikan klarifikasi pada media perihal petisi menuntut referendum kemerdekaan Papua Barat.
Bertempat di markas PBB, Kamis (28/9/2017), Rafael menegaskan bahwa dirinya maupun Sekretariat Komite, tidak pernah menerima, secara formal maupun informal, petisi atau siapapun mengenai Papua.
Rafael mengutarakan hal itu menanggapi pemberitaan di koran ‘Guardian’. ‘Guardian’ dalam artikelnya, menyebut bahwa Benny Wenda telah menyampaikan petisi yang meminta dilakukannya referendum untuk Papua kepada Komite Dekolonisasi PBB.
Rafael yang juga Ketua Komite Kolonisasi PBB di markas besar PBB di New York, menyebut bahwa dia tidak pernah berkomunikasi dengan Benny Wenda. Dia juga menegaskan, bahwa dirinya tak mungkin berhubungan dengan pihak-pihak di luar agenda C24.
Hormati Kedaulatan
Rafael menambahkan, dirinya sangat menghormati integritas dan kedaulatan wilayah semua anggota.
Seperti di jelaskan oleh Ketua Komite Dekolonisasi, bahwa mandat dari Komite Dekolonisasi terbatas kepada 17 Non-Self-Governing Territories. Papua tidak termasuk dalam 17 teritori tersebut.
“Sebagai sesama anggota Gerakan Non- Blok (GNB), kita selalu menjunjung tinggi prinsip utama Gerakan Non-Blok yang menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah negara anggota.”
Ditegaskan, bahwa Venezuela tidak akan pernah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia.
Pernyataan Rafael menunjukan bahwa kelompok separatis dan Benny Wenda terus menyebarkan hoax dan kebohongan kepada publik. Kegiatan bohong seperti ini sangat sering dilakukan khususnya apabila ada pertemuan besar dan terdapat pejabat tinggi PBB yang hadir.
"Tahun lalu Benny Wenda pernah menyebut bahwa telah menyerahkan dokumen mengenai Papua kepada Sekjen PBB, namun setelah di konfirmasi ke kantor Sekjen PBB ternyata bohong," tegas Dubes RI untuk PBB, Triansyah Djani.