Kabar24.com, JAKARTA - Pemerintah Myanmar menolak gencatan senjata yang ditawarkan oleh gerilyawan Rohingya, Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA).
Sikap itu disampaikan oleh Zaw Htay, juru bicara pemimpin de facto Myammar, Aung San Suu Kyi. Melalui akun Twitter, Zaw Htay menegaskan pemerintah tidak akan berunding dengan "teroris" sebagaimana dikutip BBC.com, Senin (11/9/2017).
Penegasan juru bicara pemimpin Myanmar dikeluarkan setelah beberapa jam sebelumnya ARSA, yang mengaku bertindak atas nama warga Rohingya, mengumumkan gencatan senjata selama satu bulan.
Dikatakan oleh ARSA, bahwa penghentian operasi militer selama satu bulan itu dimaksudkan untuk memungkinkan penyaluran bantuan kemanusiaan di Negara Bagian Rakhine, tempat sebagian besar warga Rohingya tinggal di Myanmar. Rakhine dikenal dengan nama Arakan oleh orang-orang Rohingya.
Palang Merah Internasional (ICRC) di Myanmar menyambut deklarasi gencatan senjata sepihak ARSA. Seorang pejabat ICRC, Joy Singhal bahwa langkah itu merupakan "perkembangan yang sangat positif."
Gencatan senjata, menurutnya, diharapkan akan menambah akses aman untuk pengiriman bantuan ke Rakhine. Serangan ARSA terhadap aparat kepolisian Myanmar pada 25 Agustus lalu sontak memicu serangan balik dari aparat militer Myanmar.
Baca Juga
Sekitar 290.000 orang Rohingya dilaporkan telah melarikan diri dari Rakhine dan mencari perlindungan dengan menyeberang ke Bangladesh sejak akhir bulan lalu.
Rohingya, kelompok minoritas yang tidak diakui sebagai warga negara Myanmar meskipun secara turun temurun telah menetap di negara yang mayoritas penduduknya memeluk Buddha itu, mengatakan, bahwa militer dan orang-orang Buddha di Rakhine melakukan serangan brutal terhadap mereka.
Pihak berwenang menolak tuduhan tersebut dan mengatakan bahwa militernya tengah memerangi kelompok "teroris" Rohingya.
Kelompok Rohingya juga tidak diakui sebagai warga negara Bangladesh, karena dianggap berasal dari negara tetangga Myanmar. Tanpa status yang diperparah oleh perlakuan buruk yang diklaim dialami Rohingya, krisis Rohingya belum menemui titik terang.