Sejalan dengan itu, anggota Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur, Puguh Wiji Pamungkas, menilai perlunya kehadiran negara untuk memberikan regulasi terhadap fenomena sound horeg.
Regulasi dinilai penting agar semua pihak dapat terakomodasi dalam polemik sound horeg.
“Sound horeg ini kerap diiringi jogetan laki-laki dan perempuan yang tidak mencerminkan norma kesusilaan. Apalagi jika digelar di jalan umum dan disaksikan anak-anak. Tentu hal ini sangat mengganggu ketertiban,” ujar Puguh di Surabaya, Jumat (18/7), dikutip dari Antaranews.
Menurut dia, sound horeg tetap harus menghormati norma yang berlaku dan tidak merugikan masyarakat lain.
“Negara harus hadir. Jangan sampai pemilik usaha sound system kehilangan mata pencaharian. Tapi juga tidak bisa dibiarkan kalau sampai mengganggu ketertiban umum. Perlu ada peraturan daerah yang dihasilkan melalui musyawarah bersama semua pihak,” katanya.
Dampak Bagi Kesehatan
Tak hanya merugikan secara umum yang nampak di kehidupan sosial masyarakat, sound horeg juga mendatangkan kerugian bagi kesehatan.
Sound horeg dapat membuat pendengaran tidak optimal dan merusak pendengaran. Bahkan mendengarkan suara dengan volume keras bisa menyebabkan ketulian akibat masalah saraf karena telinga memiliki batas aman dalam menerima suara yakni 85db selama 8 jam, dan terus menurun toleransi lama dengarnya apabila semakin naik db suaranya.
Spesialis Telinga, Hidung, Tenggorokan (THT) di Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Universitas Brawijaya (RSSA UB) dr. Meyrna Heryaning Putri, Sp.T.H.T.B.K.L., FICS, mengatakan jika intensitas suara melebihi batas tersebut, maka rumah siput yang berfungsi menerima dan mengantarkan suara ke saraf pendengaran dapat mengalami kerusakan
“Tingkat keamanan suara yang dapat ditoleransi telinga yakni 85db selama 8 jam, kurang dari itu maka lebih aman,” katanya, Selasa (22/7/2025).
Namun jika terjadi peningkatan desibel suara, maka toleransi pendengaran menjadi lebih pendek. Misalnya, kenaikan 88db maka toleransinya 4 jam, di 91db maka toleransinya hanya 2 jam.
“Dalam waktu singkat, volume suara 140 db dapat menyebabkan kerusakan fatal, tidak hanya saraf, tapi bisa memorak-morandakan gendang telinga, tulang-tulang pendengaran, dan semua komponen yang ada di telinga termasuk merusak rumah siput,” jelasnya.
Apabila telinga telah rusak atau tidak berfungsi, kata Meyrna, maka akan menyebabkan problem hearing (masalah pendengaran) dan problem non-hearing (masalah bukan pendengaran) seperti tidak dapat mendengar sama sekali.
Hal ini akan mengganggu aktivitas berkomunikasi kita, membuat diri uring-uringan, dan akhirnya menurunkan prioritas masing-masing individu di kehidupan sosialnya.
Gejala masalah pendengaran dapat ditandai dengan kondisi telinga terasa penuh (seperti tertutup) atau berdenging dalam suara kecil. Pada kondisi ini, maka sudah terjadi temporary trans motive, yaitu pergeseran ambang dengar yang bersifat sementara.
Apabila kondisi ini sering terjadi, maka akan terjadi hearing loss atau kehilangan pendengaran yang memiliki tingkatan seperti ringan, sedang, hingga sangat berat.
“Semakin keras dan lama kita mendengarkan musik, maka semakin besar resiko terjadi gangguan pendengaran yang akan diderita oleh masing-masing individu,” tuturnya.
Untuk mencegah kerusakan telinga, dr. Meyra mengutip pepatah mencegah lebih baik daripada mengobati karena itu, jangan mendengarkan sound horeg.
Selain itu, ada beberapa tips yang dapat dilakukan untuk mengurangi suara sound horeg saat terpaksa mendengar yaitu menggunakan pelindung telinga seperti earplug, earmuff, ear melt.
Meyrna menjelaskan pula, alangan yang paling beresiko apabila terpapar sound horeg dapat dikategorikan dalam usia mature yakni sistem yang sudah matang dan tidak mature.
Usia tidak mature seperti bayi dan anak-anak menjadi usia yang rentan, individu dengan penyakit bawaan misal sel rambutnya/rumah siputnya tidak normal, punya penyakit telinga seperti infeksi telinga/denganya sudah berlubang, setelah itu adalah usia tua.