Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Hasil Audit BUMN, BPK Soroti Timah (TINS) hingga Investasi Saham Mind ID ke Vale

BPK memberikan catatan khususnya kepada BUMN PT Timah Tbk. (TINS), MIND ID serta Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
Pejalan kaki melintas di depan gedung Badan Pemeriksa Keuangan. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Pejalan kaki melintas di depan gedung Badan Pemeriksa Keuangan. Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menerbitkan hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) mengenai kepatuhan atas pendapatan, biaya dan investasi BUMN dan badan lainnya periode 2019–2024.

Lembaga auditor negara itu memberikan catatan khususnya kepada BUMN PT Timah Tbk. (TINS), MIND ID serta Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). 

Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II/2024, pemeriksaan DTT itu dilakukan terhadap 35 objek BUMN/anak usaha/badan lainnya. BPK lalu menyimpulkan bahwa pendapatan, biaya dan investasi sebanyak 30 objek pemeriksaan sudah sesuai kriteria. 

Namun, terdapat 5 objek pemeriksaan pada BUMN/anak usaha/badan lainnya tidak sesuai dengan kriteria. Selama proses pemeriksaan, 2 BUMN telah melakukan perbaikan dengan menyetor ke negara Rp765,09 miliar dari PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) serta PT Hutama Karya (Persero). 

BPK pun menyampaikan catatan kepada 4 objek pemeriksaan BUMN/anak usaha/badan lainnya. Pertama, terkait dengan ketidakmampuan PT Timah Tbk. melakukan pengamanan sehingga berdampak pada dugaan penambangan ilegal pada wilayah izin usaha penambangan (WIUP) perseroan. 

"Akibatnya terjadi potensi kehilangan sumber daya timah yang berisiko merugikan perusahaan sebesar Rp34,49 triliun dan membutuhkan verifikasi lebih lanjut dari PT Timah Tbk.," dikutip dari ringkasan eksekutif IHPS II/2024 BPK, Selasa (27/5/2025). 

Atas catatan itu, BPK merekomendasikan dua usulan ke Menteri BUMN antara lain, agar pemerintah mengambil alih pengamanan WIUP PT Timah, serta berkoordinasi dengan Menteri ESDM, Menteri Perdagangan dan aparat penegak hukum untuk menata ulang bisnis timah di Bangka Belitung. 

Hal itu termasuk penertiban keberadaan perusahaan swasta dan smelter yang diduga menerima, mengolah dan mengekspor hasil penambangan ilegal di WIUP PT Timah. 

Kedua, perencanaan penambangan mitra usaha PT Timah tidak disertai target produksi dalam perikatan penambangan dan biaya kerja sama sewa smelter melebihi harga pokok produksi (HPP) smelter perseroan. 

Temuan BPK itu disebut mengakibatkan potensi kerugian perusahaan sebesar Rp1,65 triliun atas HPP mitra sewa smelter PT Timah Tbk. yang lebih tinggi untuk periode 2019–2020. 

BPK lalu menerbitkan dua rekomendasi. Salah satunya yakni untuk meminta pertanggungjawaban direksi PT Timah. 

"BPK merekomendasikan agar Menteri BUMN meminta pertanggungjawaban dan mereviu kinerja Direksi PT Timah Tbk. 2019–2023 atas ketidakhati-hatian dalam melaksanakan tata yang kelola sehat terkait mekanisme dan kontrak dengan mitra," bunyi IHPS BPK. 

Sementara itu, Direktur Utama PT Timah juga diminta untuk menyusun sistem pemantauan yang akurat atas sumber daya dan cadangan yang berada di WIUP Timah. 

Ketiga, soal kebijakan pengambilalihan saham PT Vale Indonesia Tbk. (INCO) oleh Holding BUMN pertambangan, MIND ID tidak sesuai dengan ketentuan pertambangan mineral dan batu bara. 

"Tidak berpihak kepada pemerintah dan lebih menguntungkan pihak partner," terang BPK. 

Oleh sebab itu, terdapat rekomendasi terhadap Direksi MIND ID agar melakukan kajian atas kepemilikan saham Vale pada tahap kegiatan operasi produksi yang sahamnya dimiliki oleh asing beserta konsekuensinya. 

Kemudian, BPK juga merekomendasikan agar Direksi MIND ID mengkaji mitigasi risiko terintegrasi beserta kemungkinan penambahan kepemilikan saham MIND ID untuk menjadi pengendali utama Vale. Selanjutanya berdasarkan hasil kajian tersebut melakukan koordinasi dengan Kementerian BUMN. 

Keempat, pemberian fasilitas kredit ekspor LPEI kepada tiga debitur: PT DBM, PT IGP dan PT CORII tidak sesuai ketentuan. BPK menyebut analisis pemberian kredit belum menerapkan prinsip kehati-hatian dan perluasan usaha tidak sesuai perjanjian kredit. 

"BPK merekomendasikan agar Direktur Eksekutif LPEI melakukan upaya optimalisasi recovery potensi kerugian atas pemberian fasilitas kredit minimal senilai outstanding yaitu total sebesar Rp1,13 triliun," terang BPK. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dany Saputra
Editor : Edi Suwiknyo
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper