Bisnis.com, JAKARTA -- Cipto Mangunkusumo adalah tokoh pergerakan yang lahir dan meninggal pada bulan Maret. Ia dikenal sebagai pejuang antikolonialisme dan antifeodal yang konsisten.
Ia, misalnya, menyerang dengan sangat keras berbagai praktik penghisapan terhadap rakyat bumiputra oleh rezim kolonial Belanda yang berkolaborasi dengan penguasa lokal. Cipto bahkan pernah meminta Pakubuwono X dipensiunkan karena hanya menghisap rakyat jelata.
Cipto adalah lulusan Sekolah Dokter Jawa atau dalam bahasa Belanda-nya disebut dengan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Ia dikenal dalam sejarah sebagai tiga serangkai bersama Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) dan Ernest Douwes Dekker.
Sepak terjang Cipto di dunia pergerakan penuh dengan lika-liku. Ia dikenal sebagai aktivis yang tidak pandang bulu. Kritiknya tajam ke semua pihak. Dia pernah bersitegang dengan elite-elite Boedi Oetomo yang dia anggap lamban dan tidak progresif. Dia juga menyerang pemerintah kolonial Hindia Belanda, hingga dengan bersemangat menelanjangi penguasa feodal Jawa.
Salah satu episode paling menarik dalam jejak perjuangan Cipto Mangunkusumo adalah konfliknya dengan raja-raja Jawa, khususnya pihak Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan rajanya, Pakubuwono X.
Pakubuwono adalah gelar salah satu penguasa Vorstenlanden, sebuah daerah yang dikuasai oleh penerus Dinasti Mataram Islam pasca perjanjian Giyanti. Wilayah ini diperintah oleh empat klan pecahan Mataram yakni Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman.
Wilayah Kasunanan dan Mangkunegaran kini menjadi Soloraya, pusatnya di kota Surakarta atau Solo. Sedangkan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman tempat tinggal penguasanya ada di Kota Yogyakarta. Dua kota ini, selain Batavia dan Surabaya, menjadi lokasi penting selama era pergerakan nasional.
Takashi Shiraishi, dalam buku Zaman Bergerak, menggambarkan Cipto sebagai seorang yang sangat anti terhadap Raja Jawa. Raja Jawa atau penguasa feodal di Vorstenlanden digambarkan sebagai penghisap rakyat Jawa. Rakyat hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara Raja dan para para elite istana, justru hidup foya-foya dengan upacara yang serba adiluhung.
"Kritik tajam Cipto kepada Sunan ini bukan hal yang mengejutkan. Ketidaksukaannya pada sunan dan tradisi "feodal" nyaris melegenda sejak ia pernah mengendarai keretanya memasuki alun-alun di depan keraton sultan," tulis Shiraishi dikutip, Jumat (6/10/2023).
Cipto sadar betul bahwa kondisi itu harus diubah. Kolonialisme dan tingkah laku para raja-raja Jawa harus dikoreksi. Alasan inilah yang membuatnya sangat bersemangat untuk menyerang Sunan Pakubuwono X. Surat kabar mingguan Panggoegah dan Volksraad (DPR) era pemerintah kolonial jadi ruang Cipto menyampaikan kritik-kritik tajamnya.
Shiraishi menulis bahwa dalam Panggoegah edisi 9 Juni, Cipto secara terang benderang menyebut dua keraton di Surakarta atau Solo sebagai beban yang justru harus dipelihara oleh orang-orang di Surakarta. Dia kemudian mengusulkan supaya Pakubuwono dan Mangkunegara dipensiunkan kemudian diberi gaji tetap bulanan sebanyak 2.000 gulden.
Seantero Solo geger. Banyak yang menentangnya, tetapi banyak pula yang mendukung langkah Cipto.Usul Cipto supaya Raja Solo dipensiunkan juga menjadi ulasan Panggoegah edisi 16 Juni 1919.
Pada edisi ini, dia bahkan mengatakan Amangkurat II beserta keturunannya adalah budak-budak feodal VOC termasuk penggantinya yakni negara Hindia Belanda.
Gerakan anti-raja yang dipelopori oleh Cipto membuat resah raja dan kalangan bangsawan di Solo. Shiraishi bahkan menyebut bahwa serangan atau kritik tajam Cipto kepada gaya hidup Istana Jawa menjadi isu utama pergerakan di Surakarta. Situasi kubu Cipto yang anti-Raja dengan yang pro penguasa feodal memanas. Cipto, pemuda asal Jepara, dianggap sebagai ancaman bagi berlangsungnya dinasti politik Jawa.
Pihak yang anti-Cipto didukung oleh Sarekat Islam, tokohnya Haji Samanhudi, dan Boedi Oetomo. Pangeran Hadiwidjojo mencoba membuat narasi tandingan untuk melawan kampanye anti-raja kubu Cipto yang didukung oleh NIP-Sarekat Hindia. Situasi itu membuat kondisi Surakarta atau Solo tidak kondusif.
Cipto mulai mengorganisir diri dan sering membuat rapat-rapat umum. Misi anti-raja atau Sunan Pakubuwono terus berjalan. Tidak lagi menggunakan Panggoegah dan Volksraad sebagai panggungnya. Cipto kali ini menggunakan rapat-rapat umum dan ketoprak. Ketoprak adalah seni pertunjukan atau teater rakyat Jawa. Ceritanya berbagai macam, tetapi umumnya berkisah tentang kerajaan-kerajaan.
Salah satu episode pertunjukan yang disiapkan Cipto untuk menyerang Pakubuwono X adalah pertunjukan ketoprak dengan lakon Ki Ageng Mangir. Cerita Ki Ageng Mangir hidup di kalangan masyarakat Jawa. Dia dikenal sakti dan sulit dikalahkan oleh leluhur wangsa Mataram, Panembahan Senopati.
Konon untuk menaklukan Mangir, Panembahan Senopati sampai rela mengumpankan anaknya supaya menjadi istri Ki Ageng Mangir. Umpan ternyata manjur. Putri Panembahan Senopati kemudian diperistri Mangir. Panembahan meminta putrinya untuk membujuk Mangir sowan ke Mataram. Singkat Ki Ageng Mangir setuju dan memutuskan menemui Panembahan Senopati.
Namun saat hendak menghadap Raja, Mangir diminta untuk menanggalkan senjata dan meninggalkan pasukannya. Dia kemudian menghadap Panembahan Senopati. Mangir tanpa curiga melakukan sembah bakti kepada Raja Mataram. Tetapi Sang Raja justru menggunakan kesempatan itu untuk membunuh Ki Ageng Mangir yang sulit ditaklukkan oleh bala tentara Mataram itu.
Lewat cerita ini, Cipto lagi-lagi ingin menelanjangi asal-usul wangsa Raja Jawa. Dia menganggap bahwa leluhur raja-raja Jawa yang berkuasa pada waktu itu bukanlah kesatria karena telah membunuh musuhnya dengan cara yang licik.
Takashi Shiraishi menulis: "Cipto sudah menampilkan tokoh Panembahan Senopati, sang pendiri Mataram, sebagai seorang ksatria gadungan. Tindakan tokoh ini "keji" dan "pengecut" dan punya kebiasaan "culas" dan "licik". Jika pendirinya saja sudah ksatria gadungan, maka seluruh keturunannya, termasuk Susuhunan Pakubuwana X dan Mangkunegara VH juga ksatria gadungan. Klaim moral dan historis raja-raja Mataram atas kerajaan oleh karenanya perlu ditolak."