Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ombudsman Soroti Bansos PKH, Cuma Jadi Program Bagi-Bagi Uang?

Ombudsman RI menyoroti fenomena penyaluran bansos Program Keluarga Harapan yang dinilai hanya berhenti pada bagi-bagi uang semata.
Ilustrasi pencairan Dana Bantuan Program Keluarga Harapan (Ant)
Ilustrasi pencairan Dana Bantuan Program Keluarga Harapan (Ant)

Bisnis.com, JAKARTA - Ombudsman RI menyoroti fenomena penyaluran bantuan sosial (bansos) Program Keluarga Harapan (PKH) yang masih belum optimal.

Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng menjelaskan bahwa investigasi ini merupakan prakarsa sendiri, menitikberatkan pada dugaan maladministrasi pada tahap alokasi, distribusi, dan evaluasi bansos PKH yang ditangani langsung oleh Kementerian Sosial (Kemensos).

"Kalau sudah berkali-kali laporannya, artinya bukan lagi kasuistik, tapi sistemik. Maka, kami melakukan investigasi atau pemeriksaan atas prakarsa sendiri," ujarnya dalam Diskusi Publik Bansos PKH: Tata Kelola dan Perbaikan ke Depan, Kamis (18/1/2024).

Secara umum, Ombudsman pun menyoroti agar program bansos jangan hanya berhenti pada bagi-bagi uang semata, melainkan menjalankan visi transformatif secara optimal, sehingga efektif dalam rangka mengentaskan kemiskinan di Indonesia.

Sebagai contoh, Robert melihat graduasi kepesertaan masih perlu lebih jelas. Integrasi progam bansos dengan program pemberdayaan lain pun masih perlu perbaikan. 

"Artinya, bansos bukan eksklusif yang jalan sendiri, sehingga muncul persepsi hanya bagi-bagi uang. Bahkan, maaf, muncul persepsi Kemensos seakan hanya jadi juru bayar saja. Ini perlu dibenahi," tambahnya.

Sebagai informasi, PKH pertama kali diluncurkan pada 2007, bertujuan mengurangi angka kemiskinan, meningkatkan kualitas SDM, serta mengubah perilaku yang kurang mendukung bagi peningkatan kesejahteraan suatu masyarakat miskin.Lantas, sejak pertengahan 2023, Ombudsman RI telah melakukan permintaan keterangan di 12 kota/kabupaten di 4 provinsi, yaitu Lampung, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Selain itu, keterangan juga digali dari pihak Kemensos, Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas), serta beberapa bank Himbara dan PT Pos Indonesia. Temuan Ombudsman utamanya mencakup tiga hal.

Pertama, penyimpangan prosedur pada tahapan pengusulan data, di mana sebagian besar tanpa melalui musyawarah desa atau musyawarah kelurahan (musdes & muskel).

Kedua, ketika masuk tahap verifikasi dan validasi data, ditemukan tindakan tidak kompeten oleh petugas Dinas Sosial kota/kabupaten karena tidak ada upaya memastikan data dikumpulkan dan diperbaiki sesuai fakta di lapangan.

"Repotnya, banyak di daerah hanya verifikasi dokumen, jarang sekali yang sampai berbasis fakta lapangan. Mayoritas alasannya karena tidak ada anggarannya, tidak disiapkan, karena dianggap ini kan program [pemerintah] pusat," ungkapnya.

Terakhir, Ombudsman merasa perlu ada upaya mengantisipasi tindakan tidak kompeten para verifikator pada setiap tingkatan penetapan graduasi, pembaruan data, dan pemadanan data.

Salah satu penyebabnya adalah proporsi jumlah keluarga penerima manfaat (KPM) yang tidak sebanding dengan jangkauan tenaga pendamping di beberapa wilayah.

Deputi Kependudukan dan Ketenagakerjaan Bappenas Maliki membenarkan bahwa beberapa tantangan tersebut sebenarnya juga ditemui di program-program bansos lain, bukan hanya buat bansos PKH.

Misalnya, soal kurang efektifnya musdes & muskel merupakan buah dari belum adanya registrasi sosial-ekonomi secara komprehensif. Terlebih, sumber daya manusia (SDM) di suatu desa/kelurahan pun memiliki latar belakang pendidikan yang sangat beragam.

"Karena tingkat desa itu bukan hanya diberi tugas oleh Kemensos, tapi juga oleh beberapa kementerian/lembaga lain yang juga menyalurkan bansos. Jadi sebenarnya harus disiapkan juga gambaran besar kepada mereka untuk bisa melakukan pendataan secara lebih baik," jelasnya.

Selain itu, perlu ada integrasi program bansos dengan program lain dengan graduasi yang terintegrasi, sehingga para KPM bisa naik kelas dan tak lantas menjadi keluarga dengan 'mental bansos'.

Misalnya, apakah selama mendapatkan PKH, suatu KPM telah mencapai kemajuan dari taraf miskin menjadi taraf rentan atau taraf menuju menengah, bagaimana kemampuan ekonominya, kepemilikan asetnya, serta apakah kualitas SDM telah meningkat.

"Jadi misalnya, pada taraf tertentu mungkin nantinya sudah tidak cocok lagi diberikan PKH, tapi tetap bisa mendapat bansos lain, seperti bantuan usaha atau bantuan lain. Ini seharusnya bisa ada kontinuitas," tambah Maliki.

Sementara itu, Staf Khusus Menteri Sosial Bidang Pengembangan SDM dan Program Kemensos Suhadi Lili menjelaskan bahwa isu-isu ini pun terus jadi perhatian dan bahan perbaikan.

Sebagai contoh, pihaknya pernah menindak beberapa oknum pendamping KPM yang melakukan penyalahgunaan wewenangnya. Selain itu, ada juga kasus di mana KPM justru tidak punya pola pikir untuk maju, alias telanjur dimanjakan oleh bansos. Pembinaan dari masyarakat miskin dan rentan menjadi menuju menengah pun masih jadi pekerjaan rumah.

"KPM yang berlama-lama menerima PKH, kami tahu ada sebagian, sehingga verifikasi yang lebih agresif sudah dan terus akan kami lakukan. Terutama, yang sudah tidak masuk kategori miskin lagi setelah menerima PKH bertahun-tahun," tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Halaman
  1. 1
  2. 2
Penulis : Aziz Rahardyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper