Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah dituntut netral dalam Pemilihan Umum atau Pemilu dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Apalagi, putra sulung dari Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, menjadi salah satu kontestan dalam pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Gibran maju sebagai calon wakil presiden atau cawapres, Prabowo Subianto.
Majunya Gibran dan sikap Presiden Jokowi yang telah secara terbuka akan melakukan cawe-cawe, menimbulkan kekhawatiran dari semua pihak tentang potensi pengunaan alat negara untuk politik praktis. Apalagi beberapa waktu terakhir, Jokowi mulai melakukan konsolidasi kekuasaan. Di partai politik, ada sosok Kaesang Pangarep, putra bungsu presiden yang hanya dalam waktu dua hari langsung menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Di ranah yudisial, putusan Mahakamah Kontitusi No.90/PUU/XXI/2023 tentang batas usia capres dan cawapres, yang prosesnya terbukti melanggar etik. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) bahkan telah memutus Anwar Usman, yang merupakan adik ipar Jokowi, bersalah dan dicopot dari jabatannya sebagai Ketua MK.
Sementara itu, di ranah eksekutif, Jokowi juga mengangkap orang-orang yang bekerja sama dengan dirinya baik sebagai ajudan maupun pimpinan kepolisian dan militer di Surakarta menempati jabatan-jabatan strategis. Jenderal TNI Agus Subiyanto, yang belum genap sebulan sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ditunjuk sebagai calon Panglima TNI. Agus Subiyanto adalah mantan Komandan Distrik Militer (Kodim) Surakarta.
Bekas Kapolresta Solo dan ajudan Presiden Jokowi, Listyo Sigit Prabowo juga telah menjadi Kapolri sejak 2021 lalu. Ada juga Komjen Purn Nana Sudjana, mantan Kapolda Metro Jaya dan Kapolresta Surakarta, menjadi penjabat (PJ) Gubernur Jawa Tengah. Di Jawa Tengah pula, ada sosok Mayjen TNI Widi Prasetijono yang menjabat sebagai Pangdam IV/Diponegoro. Mayjen Widi adalah bekas Ajudan Presiden Jokowi tahun 2014-2016.
Jawa Tengah adalah salah satu lumbung suara setelah Jawa Barat dan Jawa Timur. Wilayah ini kini sedang diperebutkan oleh hampir semua koalisi parpol. Apalagi internal PDIP, sebagai penguasa tradisional Jateng, sedang diterpa gonjang-ganjing, pasca manuver politik keluarga Jokowi. PSI, misalnya, yang menjadi kendaraan politik anak bungsu Jokowi, memutuskan untuk menggelar puncak HUT – 9 di Jateng.
Baca Juga
Jokowi memperoleh suara 77 persen di Jawa Tengah. Sedangkan PDIP, yang sekarang mulai menjadi ’rival’ politiknya, tampil sebagai pemenang dengan capaian suara sebanyak 29,7 persen suara atau lebih ari 5 juta suara.
“Insyaallah, insyaallah, di Jateng,“ kata Kesang akhir pekan lalu.
Sementara itu di ranah legislatif, sokongan terhadap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) juga cukup kuat. Sebelum terpecah ke dalam tiga koalisi, pemerintahan Jokowi didukung lebih dari 80 kursi di parlemen. Namun demikian, jika mengacu kepada koalisi Indonesia Maju, yang terdiri dari gabungan partai yang mendukung pencalonan Prabowo-Gibran, ada sekitar 45,79 persen. Tanpa PDIP, PPP, dan NasDem yang telah memiliki calon mereka di luar keluarga Jokowi.
Dalam catatan Bisnis, Jokowi juga kerap mengundang relawan hingga sejumlah elemen masyarakat, salah satunya adalah Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) ke Istana. Meski setelah pertemuan itu baik relawan maupun Apdesi membantah adanya pembahasan mengenai politik.
Namun demikian, yang menarik adalah, pada Ahad kemarin, sejumlah perangkat desa telah secara terbuka menyatakan dukungan para kepala desa dan perangkat desa di acara Silaturahmi Nasional Desa Bersatu 2023. Padahal sesuai ketentuan, misalnya Pasal 29 huruf g dan j Undang-undang No.6/2014 tentang Desa, kepala desa tidak boleh menjadi bagian partai politik dan terlibat dalam Pemilu maupun Pilkada.
Panja Netralitas Polri
Konsolidasi politik keluarga Jokowi tersebut membuat sejumlah pihak bersuara kencang. Isu tentang netralitas presdiden Jokowi dan aparatur yang berada di bawahnya, menjadi sorotan. Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto bicaa soal tekanan kepada kubunya.
Isu tentang netralitas aparat itu kemudian menjadi salah satu isu utama saat rapat kerja antara Komisi III dengan Polri pekan lalu. Rapat sejak awal panas, karena Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tidak datang. Dia digantikan oleh Kabarhakam Polri, Komjen Pol Fadil Imran.
Kritik-kritik soal netralitas Polri muncul dari sejumlah politikus Senayan. Namun paling banyak adalah PDIP. Anggota Komisi III nggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Trimedya Panjaitan, misalnya, meminta penjelasan mengapa di rapat kerja yang membahas soal pengamanan Pemilu 2024, pimpinan tertinggi Polri tidak hadir. "Untuk acara yang begini penting kenapa yang datang Kabarhakam [Fadil Ramadhan]? Harusnya Kapolri [Listyo Sigit] yang datang," ujar Trimedya.
Dia berpendapat, seharusnya Kapolri yang langsung mendengar masukan dan kesimpulan rapat bukan diwakilkan. Oleh sebab itu, Trimedya meminta rapat ditunda sebelum Kapolri bisa menghadiri rapat secara langsung. "Sepanjang pengalaman saya, di DPR kalau mau pemilu, tidak permah Polri diwakilkan. Kok istimewa sekali Kapolri sekarang diwakilkan? Kecuali saudara ketua menyampaikan akan ada rapat lagi dengan Kapolri menjelang Pemilu," jelasnya.
Tak hanya itu, Trimedya juga mengusulkan pembentukan Panitia Kerja (Panja) Netralitas Polri untuk Pemilu 2024. "Saya kira komisi III juga, kami mengusulkan Saudara Ketua, kita buat Panja Pengawasan Netralitas Polri," jelas Trimedya.
Dia mengusulkan agar Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul menjadi Ketua Panja Netralitas Polri ini. Dengan begitu, lanjutnya, nantinya ketua Panja bisa menugaskan anggotanya untuk mengawasi kepolisian di daerah pemilihan (dapil) mereka. "Sehingga ketua memberikan surat pada Trimedya Panjaitan, 'Awasi Polri di Sumatera Utara!' Ya saya tiap minggu harus pulang nih. Lusa pulang, Senin pagi balik lagi," ungkapnya.
Tuntutan tentang netralitas aparat itu juga diungkapkan oleh politikus Golkar dan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. "Yang kita harapkan dalam situasi seperti ini, peranan dari aparat pemerintah apakah itu di pemerintahan, di kepolisian, di TNI dan seluruh aparat negara itu betul-betul melaksanakan Pemilu ini secara aman, secara baik, dan secara netral," katanya kepada wartawan usai pertemuan tersebut.
Menurutnya, netralitas ini penting bagi para aparatur negara, lebih lagi karena mereka telah mengucapkan sumpah akan taat kepada undang-undang dan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.
"Kenapa kita kemukakan netralitas? Karena sumpah, sumpah semua pejabat, semua aparat selalu berbunyi akan taat kepada undang-undang dan akan melaksanakan segala tugasnya dengan sebaik-baiknya, dengan seadil-adilnya, itu semua diucapkan semua pejabat," tegasnya.