Bisnis.com, JAKARTA - Serangan mendadak oleh kelompok Palestina Hamas terhadap Israel mungkin merupakan salah satu kegagalan terbesar oleh intelijen Israel sejak Perang Yom Kippur 1973.
Serangan ini melibatkan puluhan infiltrasi melalui laut dan daratan, bersama dengan serangan roket, yakni serangan canggih yang melibatkan perencanaan dan koordinasi, yang seharusnya dapat diungkapkan oleh badan intelijen. Diketahui bahwa ratusan orang telah tewas di kedua belah pihak, baik Israel maupun Palestina.
“Saya terkejut bahwa mereka dapat melakukannya tanpa Israel atau Amerika Serikat mendeteksinya,” jelas mantan duta besar AS untuk Israel dan anggota di Dewan Hubungan Luar Negeri Martin Indyk, seperti dikutip dari Bloomberg, Minggu (8/10/23).
Dia mengatakan bahwa kegagalan tersebut meliputi kegagalan dalam persiapan, kegagalan dalam memiliki pasukan di sepanjang perbatasan, dan kegagalan pagar di sepanjang perbatasan yang telah dibayar jutaan shekel.
Sebelumnya, pejabat Israel telah mengatakan bahwa selama beberapa bulan kelompok militan Palestina sedang mempersiapkan kekerasan. Namun, waktu dan skala serangan kali ini tampaknya telah mengejutkan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Israel dan sekutunya Amerika Serikat, diketahui telah menyumbangkan sebesar US$3,3 miliar atau sekitar Rp51,6 triliun kepada Israel untuk belanja pertahanan pada 2022. Terkait serangan ini, kedua pihak telah mempertimbangkan siapa yang paling bertanggung jawab dan bagaimana hal tersebut dapat terjadi.
Baca Juga
Pejabat israel kini mengatakan bahwa saat ini masih terlalu dini untuk mengetahui apa yang salah dan terjadi, dan menolak untuk dibandingkan dengan tahun 1973.
Juru bicara Pasukan Pertahanan Israel, Richard Hecht, juga mengatakan bahwa untuk jangan memberikan Hamas tingkat kecanggihan Perang Yom Kippur.
“Saya tahu ada banyak pertanyaan tentang intelijen. Tolong berhenti bertanya. Saat ini kami sedang berperang. Saya yakin akan ada banyak diskusi tentang intelijen di masa mendatang,” ungkapnya.
Para profesional intelijen biasanya membedakan antara kegagalan dalam pengumpulan informasi, kegagalan dalam analisis, dan kegagalan oleh pembuat kebijakan dalam mengindahkan peringatan dari lembaga intelijen.
Di lain sisi, Direktur CIA William Burns membatalkan pidato utama yang seharusnya dia sampaikan pada Sabtu malam (7/10) di The Cipher Brief Threat Conference di Sea Island, Georgia, untuk menangani krisis tersebut.
Kemudian, dalam konferensi tersebut, Laksamana Angkatan Laut pensiunan James Stavridis, yang pernah menjabat sebagai Panglima Sekutu Tertinggi NATO dan sering berhubungan dengan pejabat Israel, menggambarkan kejadian tersebut sebagai kegagalan intelijen yang mengejutkan.
Dia mengatakan bahwa meskipun dirinya tidak terkejut dengan keputusan Hamas untuk menyerang, namun ia sangat terkejut dengan taktik yang digunakan oleh kelompok tersebut, meliputi kecepatan, korban jiwa, dan penyanderaan yang menurutnya akan menjadi "alat tawar-menawar kelas atas."
Mantan analis CIA Timur Tengah, Emily Harding juga mengutarakan bahwa serangan ini, yang pasti telah direncanakan selama berbulan-bulan, sangat mengejutkan mengingat seberapa mumpuninya badan intelijen Israel, namun melewatkan perencanaan tersebut.
"Waktu akan memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi - akan ada penyelidikan berbulan-bulan untuk mengumpulkan informasi tentang apa yang diketahui oleh IDF dan Mossad, dan kapan mereka mengetahuinya,” ungkap Harding, yang juga merupakan peneliti senior di Center for Strategic and International Studies (CSIS).
Selain itu, diketahui bahwa dalam beberapa jam setelah serangan pada Sabtu (7/10), Pasukan Pertahanan Israel telah meluncurkan Operasi Pedang Besi, dengan melakukan serangan udara terhadap target di Jalur Gaza. PM Netanyahu menyatakan bahwa Israel sedang "berperang."