Bisnis.com, JAKARTA- Kuasa lunak atau soft power China di Indonesia dinilai berhasil melalui berbagai progam, baik ekonomi maupun pendidikan.
Tajul Arifin, Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, melihat pengiriman santri Indonesia untuk belajar ke China lebih membawa dampak negatif dari pada dampak positif. Maraknya fenomena itu merupakan tragedi bagi pertahanan umat Islam Indonesia.
Menurutnya, para kiai dan kaum santri dalam sejarah memainkan peran penting sebagai garda terdepan dalam membela dan mempertahankan negara dan ideologi Pancasila. “Kita ingat bagaimana kebencian di luar kenormalan dari kaum komunis kepada para kiai dan santri. Para santri tidak melakukan apapun, tetapi karena perbedaan ideologi, mereka memperlakukan para santri dengan amat kejam,” tuturnya dalam Seminar bertajuk “Santri, Elit Bisnis, dan Strategi Kuasa Lunak China”, akhir pekan lalu.
Tetapi sekarang, tuturnya, daerah yang memiliki kultur pesantren seperti Jawa Timur, sejak 2010 mulai mengirimkan santri untuk belajar ke Negeri Tirai Bambu. Dia menilai para santri menjadi korban untuk pengamanan kerja sama jangka panjang Indonesia-China, yang sudah memahami bahwa resistensi terkuat akan muncul dari kalangan santri.
Dia mengakui bahwa tentu saja ada hal baik dari pengiriman pelajar santri untuk belajar di sana namun tidak sedikit ada pengaruh negatifnya misalkan sepulang dari China mereka terpapar pemahaman yang antipancasila.
“Berbeda dengan pengalaman para santri studi ke Barat, di mana kebanyakan minimal untuk studi lanjut pada level S2, sehingga secara ideologi mereka sudah kuat, saat ini, para santri yang berangkat ke China kebanyakan mulai dari tamatan SMA, sehingga masih berpengetahuan dangkal dan mudah dipengaruhi” tuturnya.
Baca Juga
Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) Johanes Herlijanto, mengatakan bahwa selain beasiswa, upaya China menanamkan kuasa lunaknya juga dilakukan dengan merangkul elit bisnis, termasuk komunitas Tionghoa.
“Instasi yang memainkan peran penting dalam upaya di atas adalah UFWD [United Front Work Departmen], sebuah organ Partai Komunis Tiongkok yang bertugas melakukan upaya penggalangan dan mempengaruhi berbagai pihak,” tegasnya.
UFWD, tuturnya, berupaya mempengaruhi kelompok-kelompok di luar partai dan membentuk koalisi dari berbagai kelompok untuk mewujudkan tujuan PKT. “Melalui sistem front persatuan yang dikomandoi oleh UFWD, Tiongkok mengekspor sistem politik PKT ke luar RRC, antara lain dengan mempengaruhi partai politik negara lain, komunitas diaspora, dan perusahaan-perusahaan multi nasional,” tuturnya.
Peran UFWD, sambungnya, menjadi semakin penting seiring dengan keyakinan Xi Jinping bahwa orang-orang Tionghoa perantauan memiliki peran penting dalam proyek peremajaan bangsa Tionghoa yang ia canangkan. Oleh karenanya, peran UFWD makin diperluas dan bahkan membawai Overseas Chinese Affairs Office (OCAO) yang sebelumnya ditugasi untuk mengatur urusan Tionghoa Perantauan.
“Kini UFWD diberi tugas untuk merangkul Tionghoa perantauan dan mendorong mereka untuk menyampaikan cerita tentang Tiongkok sesuai dengan yang dikehendaki PKT, mempromosikan pandangan PKT dan negara Tiongkok di wilayah masing-masing, menjalin hubungan dengan para politisi setempat, serta mempengaruhi kebijakan sehingga dapat mempromosikan kepentingan PKC,” ungkap Johanes.