Bisnis.com, JAKARTA -- Lima orang tersangka kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) resmi ditahan. Penahanan kelima tersangka mengakhiri polemik proses hukum antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan TNI.
Seperti diketahui, tiga orang tersangka pemberi suap merupakan dari kalangan sipil dan kini ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sementara itu, dua personel militer berpangkat perwira ditahan oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI.
Penanganan proses hukum dalam kasus rasuah tersebut bahkan sempat memicu konflik antara kedua lembaga tersebut. TNI menilai KPK tak berwenang melakukan operasi tangkap tangan (OTT) serta menetapkan tersangka terhadap perwiranya, sedangkan KPK bersikukuh bahwa penindakan dilakukan berdasarkan kecukupan alat bukti.
Berdasarkan catatan Bisnis, setidaknya sekitar satu pekan proses hukum dalam kasus suap di Basarnas itu memicu polemik. Mulai dari permintaan maaf pimpinan KPK yang diduga memicu konflik internal, pengunduran diri dari Plt. Deputi Penindakan KPK, hingga dugaan intimidasi kepada sejumlah pejabat struktural lembaga tersebut.
Kini, tiga tersangka pemberi suap telah ditahan oleh KPK. Mereka adalah Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati Mulsunadi Gunawan, Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati Marilya, serta Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama Roni Aidil.
Sementara itu, Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI resmi menahan Marsekal Madya (Marsdya) TNI Henri Alfiandi dan Letkol Afri Budi Cahyanto.
Baca Juga
Perkara tersebut diduga telah terjadi sejak 2021. Sejauh ini, KPK menduga ada tiga tender proyek yang terseret dalam pusaran korupsi di Basarnas. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut Marsdya Henri dan Letkol Afri diduga menerima nilai suap senilai Rp88,3 miliar dari vendor proyek.
Belakangan, Alex mengungkap bahwa lembaganya tak menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) kepada dua perwira TNI itu. Namun, keduanya tetap diumumkan sebagai tersangka pada konferensi pers.
Menurut mantan hakim ad hoc itu, penetapan Marsdya Henri dan Letkol Afri sebagai tersangka berdasarkan kecukupan alat bukti atau secara substansi dan materiil. Namun, penindakannya secara administratif diserahkan kepada Puspom TNI.
"Jadi alasannya kenapa ditetapkan lima [tersangka]? Karena memang alat bukti sudah cukup untuk menetapkan lima, itu hanya secara administratif. Kita lakukan koordinasi yang pihak TNI biar teman-teman dari Puspom TNI yang melakukan penindakan," jelasnya pada konferensi pers, Senin (31/7/2023).
Akan tetapi, ibarat nasi sudah menjadi bubur, polemik penangkapan dan penetapan tersangka dua perwira TNI sudah terlanjur memicu gesekan antar dua lembaga. Pada Jumat (28/7/2023), Mabes TNI secara terang-terangan menyebut OTT dan penetapan tersangka dari personel militer oleh KPK menyalahi aturan.
"Dari tim kami, terus terang, keberatan karena itu ditetapkan sebagai tersangka khususnya untuk yang militer, karena kami punya ketentuan dan aturan sendiri. Namun pada konferensi pers, ternyata statement itu keluar bahwa Letkol ABC dan Kabasarnas ditetapkan sebagai tersangka," kata Komandan Puspom TNI Marsekal Muda (Marsda) TNI Agung Handoko di Mabes TNI Cilangkap, dikutip dari siaran daring, Jumat (28/7/2023).
Mabes TNI bahkan sempat "menggeruduk" Gedung Merah Putih KPK. Beredar kabar bahwa pejabat KPK yang beraudiensi dengan pihak Mabes TNI pekan lalu diminta untuk melayangkan permintaan maaf. Saat itu, keempat pimpinan KPK minus Ketua KPK Firli Bahuri tercatat hadir dalam audiensi.
Akhirnya, di depan lobi Gedung Merah Putih KPK, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak yang menyampaikan permintaan maaf kepada Panglima dan jajaran Mabes TNI. Dia bahkan menyebut penyelidik khilaf dalam menangkap Letkol Afri pada OTT, Selasa (25/7/2023).
"Kami paham bahwa tim penyelidik kami ada kehilafan, ada kelupaan bahwasanya manakala melibatkan TNI harus diserahkan kepada TNi, bukan kita yang tangani. Bukan KPK," ujarnya pada konferensi pers usia audiensi tersebut, Jumat (28/7/2023).
Konflk Internal hingga Tekanan
Pada konferensi pers, Senin (31/7/2023), Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengakui bahwa pada hari itu pimpinan lembaga menggelar audiensi dengan pegawai. Ada sekitar 300 pegawai yang disebut hadir, utamanya dari Kedeputian Penindakan dan Eksekusi.
Audiensi itu tidak lain dan tidak bukan buntut dari pernyataan pimpinan sebelumnya yang dinilai seakan-akan menyalahkan penyelidik maupun penyidik buntut kasus di Basarnas. Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu bahkan dikonfirmasi mengajukan pengunduran diri sebagai imbasnya.
Atas hal tersebut, Alex mengatakan kelima pimpinan telah meminta maaf kepada pegawai atas kegaduhan internal yang terjadi sekitar satu minggu belakangan ini.
"Kalau ada kelalaian kalau ada kesalahan kalau ada kekhilafan itu tanggung jawab pimpinan," ucapnya pada konferensi pers.
Alex juga menyoroti soal dugaan tekanan dan intimidasi yang diterima pejabat struktural KPK imbas penanganan kasus tersebut. Alex, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, serta Plt Deputi Penindakan Asep Guntur, merupakan pejabat struktural KPK yang diketahui mendapatkan bentuk intimidasi buntut dari penanganan kasus Basarnas.
Salah satu bentuknya yakni karangan bunga yang dikirimkan ke alamat kediaman, bertuliskan "Selamat atas keberhasilan Bapak Alexander Marwata/Asep Guntur memasuki pekarangan tetangga".
Alex mengaku hal tersebut tidak memengaruhinya sama sekali. Namun demikian, dia mengatakan lembaganya bakal mengaktifkan panic button untuk para pegawai KPK apabila mengalami adanya tindakan teror.
Tim Koneksitas
Ke depannya, KPK dan TNI mengatakan bakal saling berkoordinasi untuk penanganan proses hukum masing-masing tersangka sipil dan militer. Salah satu koordinasi yang akan dilakukan di antaranya terkait dengan barang bukti yang diamankan saat OTT KPK.
Meski demikian, kedua lembaga tercatat belum menyepakati adanya tim koneksitas yang bakal dibentuk dalam penanganan perkara tersebut. Hal tersebut lantaran TNI menghendaki adanya suatu perjanjian kerja sama atau MoU dengan KPK dalam pembentukan tim koneksitas.
Potensi pembentukan tim koneksitas nantinya akan dibicarakan lebih lanjut oleh Ketua KPK Firli Bahuri dan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono.
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mendorong agar kedua lembaga segera membentuk tim koneksitas guna menindaklanjuti proses hukum kepada pihak-pihak yang ditetapkan tersangka. Politisi PPP itu meminta agar ada proses hukum yang sinkron dan akuntabel.
"Jangan sampai terjadi lagi seperti pada kasus tipikor Helikopter AW-10 di mana orang sipilnya diproses hukum dan dipidana penjara plus denda, namun tidak demikian dengan perwira TNI yang diduga terlibat," terangnya dalam keterangan resmi.