Bisnis.com, JAKARTA - Setelah Presiden Vladimir Putin mengumumkan penangguhan partisipasi dalam Perjanjian START Baru yang membatasi jumlah hulu ledak nuklir pada awal tahun lalu, dunia dilanda ketakutan ancaman nuklir.
Perjanjian New START (Strategic Arms Reduction Treaty) adalah perjanjian pengurangan senjata nuklir antara Amerika Serikat (AS) maupun Rusia.
Namun adanya agresi militer Rusia terhadap Ukraina memaksa Vladimir Putin menangguhkan perjanjian tersebut.
Adapun AS poros kekuatan militer dunia, diketahui mempunyai ratusan hulu ledak yang tersebar di Eropa.
Dilansir dari Wolrd Socialist Web Site, pada 2019, Amerika Serikat memiliki 150 hulu ledak nuklir “taktis” yang ditempatkan di seluruh Eropa sebagai bagian dari persenjataan nuklir NATO.
Hulu ledak nuklir itu tersebar di antaranya di negara Belgia, Jerman, Italia, Belanda, hingga Turki.
Baca Juga
Penempatan hulu ledak nuklir di Eropa itu sebagai bentuk penyeimbang kekuatan poros militer dari Rusia.
Diketahui sejak bulan Maret 1955, angkatan bersenjata AS mulai mengirim nuklir ke Jerman. Hanya satu bulan kemudian, AS juga mengirim hulu ledak untuk rudal jelajah Matador nuklir dan peluru artileri 280mm, hulu ledak untuk rudal Honest John dan Kopral, artileri 8 inci untuk howitzer dan ranjau darat nuklir.
Pada awal 1960-an, sepuluh jenis senjata nuklir telah disimpan di Jerman Barat. Hampir semuanya memiliki kekuatan ledakan bom yang menghancurkan Hiroshima.
Maka dimulailah gelombang nuklir yang, pada puncaknya, terdiri dari sekitar 7.300 senjata nuklir AS di Eropa.
Namun jumlah itu telah dikurangi, saat ini, hanya ekitar 150 hingga 240 bom nuklir AS-Amerika (tipe B61-3 dan B61-4) di Eropa.
Senjata itu dilengkapi dengan sistem keselamatan yang relatif modern dan memiliki daya ledak antara 0,3 dan 50 kiloton (model 4) atau 0,3 hingga 170 kiloton (model 3). Kekuatan ledakan 0,3 kiloton kira-kira setara dengan bom yang dijatuhkan di Hiroshima.