Bisnis.com, JAKARTA – Orde Baru membingkai jalan politik kelompok islam dengan memaksa mereka bergabung dalam satu wadah. Partai Persatuan Pembangunan atau PPP kemudian lahir pada tanggal 5 Januari 1973.
PPP menjadi satu-satunya wadah aspirasi politik umat Islam. Namun di sisi lain, kelahiran PPP menjadi titik nadir dalam sejarah politik umat Islam, terutama Nahdlatul Ulama (NU), yang sejak pembentukan PPP mulai dipinggirkan oleh pemerintah rezim daripadanya Soeharto.
NU adalah kelompok politik paling besar di dalam PPP. Pada Pemilu 1971, NU mampu meraup 18,68 persen suara atau unggul jauh dari anak kandung Masyumi yakni Parmusi yang hanya memperoleh 5,36 suara.
Kendati dominan, politikus NU jarang atau bahkan tidak pernah menduduki jabatan sebagai orang nomor satu PPP. Jabatan Ketua Umum PPP didominasi oleh tokoh politik eks Parmusi seperti Mohammad Syafaat Mintaredja, Djaelani Naro hingga Ismail Hasan Metareum.
Padahal berkat NU, pada masa Orde Baru, PPP mampu memperoleh suara hingga 29 persen pada Pemilu 1977. Suatu capaian, yang menurut Indonesianis MC Riklefs, tak akan pernah tercapai pada pemilu-pemilu setelahnya.
Tongkat estafet kepemimpinan PPP ke tangan politikus NU baru terjadi ketika Hamzah Haz menjadi ketua umum pada tahun 1998. Hamzah Haz bahkan kelak menjabat sebagai Wakil Presiden mendampingi Megawati Soekarnoputri.
Baca Juga
Kepemimpinan Hamzah Haz menjadi tonggak baru bagi hubungan PPP dan NU. Meskipun setelah reformasi, suara PPP turun drastis karena kalah bersaing dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Salah satu pendiri PKB adalah tokoh NU, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Kemunculan PKB memicu romantisme politik bagi kaum Nahdliyin. Mereka menjadikan PKB sebagai kendaraan untuk menyampaikan aspirasi politik setelah puluhan tahun direpresi Orde Baru.
Orde Baru memang telah menjauhkan NU dari aktivitas politiknya dan membingkai mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan. Pada sisi tertentu, Orde Baru juga memaksa kelompok-kelompok islam ini untuk menerima azas tunggal pancasila. Isu sensitif yang sempat membuat internal NU gerah.
Puncak persinggungan antara PPP, NU dan Orde Baru berakhir pada tahun 1983. Bertempat di Situbondo, suatu daerah basis kaum Nahdliyin di kawasan Tapal Kuda Jawa Timur, para ulama NU melahirkan dua keputusan penting.
Pertama, NU menarik diri dari PPP dan memutus total hubungan dengan partai politik. Kedua, menerima Pancasila sebagai azas tunggal.
Sepak Terjang Politik NU
Nahdlatul Ulama atau orang Indonesia sering menyingkatnya NU lahir kurang lebih seabad lalu. NU didirikan oleh sejumlah ulama, salah satunya Kyai Haji Hasyim Asy’ari. Organisasi ini dirintis untuk membela kepentingan kelompok islam tradisionalis.
Islam tradisionalis identik dengan pendidikan pesantren. Ciri khas pengikutnya adalah mengenakan peci hitam, sarung dan mengkaji kitab kuning. Identitas ini sangat melekat sehingga mereka acapkali diberi label sebagai kaum sarungan. Kaum yang memiliki ciri sendiri dan secara kultural berbeda dengan orang-orang barat atau Timur Tengah.
Tak ayal sejak awal kemunculannya, NU mampu menarik simpati umat di berbagai penjuru tanah air, wabilkhusus bagi mereka yang tinggal di daerah pedesaan. Mereka merasa terwakili dengan keberadaan NU. Saat ini kurang lebih 40 juta orang Indonesia mengidentifikasi diri mereka sebagai warga Nahdliyin atau NU.
Dengan basis massa yang cukup besar, NU menjadi organisasi sangat dinamis bahkan sering digoda oleh kepentingan politik praktis.
Para petualang politik melihat kader dan simpatisan NU sebagai ceruk elektoral yang sangat potensial. NU atau elite di PBNU kemudian sering dipolitisasi dan masuk dalam dinamika tarik menarik kekuasaan.
'Keterlibatan' NU dalam kontestasi politik kemudian memunculkan kesan bahwa NU tak netral. NU telah berpihak dan menjadi tameng untuk membela kepentingan kelompok politik tertentu.
Padahal, seperti yang telah disinggung di atas, sejatinya NU mewakili berbagai macam latar belakang, bukan hanya etnis, tetapi juga latar belakang politik. Kecenderungan NU atau elit NU yang berpihak ke suatu kelompok politik, tentunya berpotensi mencederai keberagaman di tubuh NU.
Meskipun, harus diakui politik dan NU ibarat dua sisi mata uang. Sejarah NU dan politik telah begitu mengakar dan berlangsung selama puluhan tahun.
Pada dekade 1950-an, misalnya, NU yang semula bagian dari Masyumi, resmi menjadi partai politik mandiri pada 1952. NU sebagai parpol bahkan ikut dalam kontestasi Pemilu 1955.
NU kemudian berubah menjadi kekuatan politik yang mapan. Peran NU bahkan semakin dominan ketika Masyumi dibekukan karena elitnya terlibat dalam gerakan PRRI di Sumatra Barat.
Tumbangnya Masyumi menjadikan NU sebagai poros utama 'politik' Islam pada saat itu. Puncaknya, ketika persinggungan politik aliran semakin kuat pada dekade 1960-an, NU mampu tampil sebagai kekuatan penyeimbang kubu komunis.
NU adalah kekuatan politik islam yang menerima konsep penyatuan ideologi ala Soekarno dalam bentuk Nasionalis, Agama, dan Komunis atau Nasakom.
Keputusan NU untuk menerima Nasakom dari perspektif politik tentu bisa dimaklumi. Sebab, jika NU memilih menarik diri, seperti yang dilakukan kekuatan politik lainnya, Soekarno akan ditinggal sendiri dan negara akan jatuh ke kelompok kiri. Dan jika itu terjadi, NU bisa bernasib sama dengan Masyumi.
NU dan Orde Baru
Situasi politik kemudian berbalik ketika pecah peristiwa 1965. NU yang antikomunis tampil di garis depan. Para santri dan unit paramiliternya menjadi kekuatan pemukul paling efektif dalam menghancurkan pengikut komunis di berbagai daerah, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Konon, sekitar 500.000 sampai 3 juta orang 'komunis' menjadi tumbal pertarungan politik waktu itu. Soekarno yang sudah kadung mendeklarasikan diri sebagai presiden seumur hidup tumbang. Orde Baru kemudian lahir dari keacauan politik paling berdarah dalam sejarah politik kontemporer tersebut.
Sayangnya bulan madu antara Orde Baru dan NU hanya sebentar. Orde Baru yang militeristik berubah menjadi kekuatan menindas. Jenderal Soeharto, penguasa Orde Baru mengedepankan stabilitas dibanding demokrasi. Kemerdekaan kemudian dibungkam. Organisasi politik disatukan ke dalam tiga golongan.
Golongan Islam yang sebelumnya memiliki banyak kendaraan politik seperti NU, PSII, Perti, dan Parmusi dipaksa bergabung ke dalam PPP. Sementara yang golongan nasionalis dan golongan politik non Islam dipaksa bergabung ke PDI.
Satu-satunya golongan non-parpol, tetapi memiliki pengaruh politik yang cukup kuat dalam politik ala Orde Baru adalah Golongan Karya alias Golkar. Golkar adalah mesin politik yang menjadi penopang kekuasaan Orde Baru selama lebih dari tiga dasawarsa.
Namun rupanya, represi Orde Baru terhadap demokrasi tak hanya berhenti pada pengkerdilan organisasi politik. Upaya untuk mengontrol kehidupan sosial politik semakin kuat. Pertentangan antara golongan agama dan negara mencapai puncaknya ketika penguasa Orde Baru, Soeharto, menerapkan azas tunggal Pancasila.
Sontak rencana itu mendapat tentangan dari banyak pihak. Golongan islam politik tidak setuju dengan gagasan pemerintah tersebut.
Di sisi lain, upaya pemaksaan ideologi tersebut kemudian melahirkan sedikit kegundahan bagi kekuatan Islam, seperti NU. Ada dua perdebatan yang cukup kuat waktu itu, pertama menerima Pancasila dengan konsekuensi menihilkan Syariat Islam. Kedua, menolak Pancasila sebagai azas tunggal yang berarti akan berhadapan dengan negara.
Di tengah kegamangan tersebut, NU kemudian menggelar Musyawarah Nasional di Situbondo pada tahun 1983. Waktu itu, lahirlah konsep NU kembali ke Khittah. Khittah artinya tujuan dasar. Kembali ke Khittah artinya kembali ke sangkan paraning dumadi NU.
Dalam posisi itu, NU kemudian berpandangan Islam dan Pancasila bukanlah sesuatu yang saling bertentangan. Secara politik NU menerima Pancasila sebagai ideologi. Namun khusus soal kegiatan keagamaan, prinsip syariah tak bisa dikesampingkan.
Salah satu tokoh NU, KH Mustofa Bisri, dalam sebuah kesempatan, bercerita tentang bagaimana konsepsi tersebut dilahirkan. Menurutnya konsep kembali ke khitah adalah strategi NU untuk bertahan dari represi Orde Baru. "Kembali ke khittah itu maksudnya supaya yang dibonsai Orde Baru (Suharto) itu hanya politiknya saja, sementara peran lainnya dikembalikan ke NU."