Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Membedah Pasal Kewenangan Penuh OJK Pailitkan Pelaku Industri Keuangan

UU PPSK memberikan kewenangan penuh kepada Otoritas Jasa Keuangan atau OJK untuk mengajukan permohonan pailit industri keuangan.
Ilustrasi
Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA -- Undang-undang No.4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sistem Keuangan (PPSK) memberi kewenangan luas bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

Pegawai OJK kini bisa berperan sebagai penyidik tindak pidana kejahatan keuangan, tentu setelah memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Polri. 

Sedangkan dalam sengketa perdata, OJK menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengajukan pernyataan pailit atau permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) terhadap debitur lembaga atau lembaga jasa keuangan (LJK).

"OJK merupakan satu-satunya pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit atau PKPU terhadap debitur LJK yang terdaftar dan diawasi oleh OJK," demikian bunyi Pasal 8B UU PPSK.

LJK yang masuk dalam cakupan beleid antara lain bank, perusahaan efek, bursa efek, penyelenggara pasar alternatif, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, penyelenggara dana perlindungan pemodal, lembaga pendanaan efek, lembaga penilaian harga efek, perusahaan asuransi, dan perusahaan asuransi syariah.

Selanjutnya ada juga perusahaan reasuransi, reasuransi syariah, dana pensiun, lembaga penjamin, lembaga pembiayaan, lembaga keuangan mikro, penyelenggara sistem elektronik yang memfasilitasi penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek, penyelenggara layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi, atau LJK lainnya.

Tentu saja, syarat dan mekanisme kepailitan itu disertai dengan penekanan yakni berlaku sepanjang pembubaran atau kepailitannya tidak diatur berbeda dengan Undang-Undang lainnya. Maksud penekanan itu ditujukan kepada LJK yang melakukan sebagian kewenangan pemerintah dan merupakan badan hukum sui generis atau khas dan spesifik.

Secara substansi, sejatinya aturan kepailitan dalam UU PPSK adalah pengembangan dari sejumlah ketentuan kepailitan sebelumnya. Aturan yang dimaksud antara lain UU No.34/2004 tentang Kepailitan dan PKPU, UU No.40/2014 tentang Perasuransian, dan beberapa ketentuan yang diatur secara spesifik dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan atau POJK.

Sederhananya, pasal mengenai kepailitan dalam UU PPSK hanya sebuah penegasan atau langkah pemerintah untuk melakukan pengelompokan aturan kepailitan dan PKPU di industri keuangan yang selama ini terdapat dalam aturan yang terpisah-pisah. 

Upaya ini barangkali mirip dengan kodifikasi hukum dalam Undang-undang Kitab Hukum Pidana atau KUHP. Pengaturan pailit perlu diatur dalam UU PPSK supaya tetap relevan. Apalagi rezim keuangan saat ini telah berkembang dan sama sekali berbeda dengan ketentuan kepailitan yang sudah eksis sejak 2004 silam.

Sekadar catatan, pada tahun 2004, rezim keuangan di Indonesia masih terpisah-pisah. Pengawasan perbankan menjadi tanggung jawab Bank Indonesia. Perusahaan efek, bursa efek dan tetek bengek-nya masih di bawah pengawasan Badan Pengawas Pasar Modal atau Bapepam. 

Sedangkan asuransi, reasuransi, dana pensiun hingga BUMN yang bergerak di kepentingan publik di bawah Menteri Keuangan alias Menkeu.

Karena berbeda pengawasan, kewenangan kepailitan maupun PKPU juga berbeda-beda. UU Kepailitan menekankan bahwa jika debitur adalah bank maka permohonan pailit dan PKPU merupakan kewenangan BI. Perusahaan efek dan bursa efek permohonan kepailitan hanya lewat Bapepam. Sedangkan perusahaan asuransi, reasuransi sepenuhnya berada di tangan Menteri Keuangan.

Namun sejak berlakunya UU No.21/2011 tentang OJK, kewenangan tersebut praktis berada di bawah otoritas jasa keuangan. Penegasan itu tertuang dalam Pasal 55 ayat 1 dan 2. Kedua pasal itu mengatur mengenai pengalihan fungsi, tugas dan wewenang pengaturan termasuk pengawasan dari Menkeu, Bapepam, dan BI (mikroprudensial) ke OJK. 

Setelah peralihan kewenangan tersebut, muncul beberapa ketentuan, termasuk undang-undang yang mempertegas posisi OJK dalam hukum kepailitan. Pasal 50 UU No.40/2014 tentang Perasuransian, misalnya, telah secara eksplisit menegaskan tentang kewenangan OJK untuk mempailitkan perusahaan asuransi. 

Selain itu, ada juga Keputusan Ketua Mahkamah Agung (MA) No.109/KMA/SK/IV/2020 tentang Pemberlakuan Buku Pedoman Perkara Kepailitan dan PKPU. Beleid ini menegaskan tentang peran OJK, termasuk mengatur mekanisme kepailitan dan PKPU terhadap debitur perusahaan asuransi maupun pasar modal.

Munculnya ketentuan dan mekanisme kepailitan maupun PKPU dalam UU PPSK semakin mengokohkan posisi OJK. Pasalnya, aturan ini secara praktis telah menggantikan ketentuan existing yang sebelumnya telah diatur dalam berbagai aturan tersebut.

Apalagi Pasal 327 UU PPSK menegaskan bahwa ketentuan mengenai permohonan kepailitan dan PKPU lembaga jasa keuangan yang sebelumnya dalam UU Kepailitan dicabut sejak aturan itu berlaku.

"Ketentuan (a quo) di Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2OO4 tentang Kepailitan dan PKP dicabut dan dinyatakan tidak berlaku."

Alasan Pengaturan Pailit

DPR dan pemerintah memutuskan untuk menggabungkan ketentuan kepailitan dan PKPU industri keuangan ke dalam UU PPSK, dimana kewenangan tersebut diberikan secara penuh kepada Otoritas Jasa Keuangan. 

Dalam penjelasan Pasal 8B UU PPSK, setidaknya ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi penguatan kewenangan kepailitan dan PKPU kepada OJK. Pertama, pertanyaan pailit diajukan OJK didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan. 

Kendati demikian kewenangan ini, lanjut penjelasan tersebut, tidak menghapus kewenangan OJK untuk mencabut izin usaha Bank, pembubaran badan hukum, dan likuidasi Bank sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kedua, permohonan pernyataan pailit untuk perusahaan efek, bursa efek, penyelenggara pasar alternatif, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian (kustodian), hanya dapat diajukan oleh OJK, karena lembaga tersebut melakukan kegiatan yang berhubungan dengan dana masyarakat yang
diinvestasikan dalam efek di bawah pengawasan OJK. 

"OJK juga mempunyai kewenangan penuh dalam hal pengajuan permohonan pernyataan pailit untuk instansi yang berada di bawah pengawasannya, seperti halnya terhadap Bank."

Ketiga, kewenangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit bagi perusahaan perasuransian diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap asuransi, asuransi syariah, reasuransi, atau reasuransi syariah sebagai lembaga pengelola risiko dan sekaligus sebagai lembaga pengelola dana masyarakat yang memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian.

Keempat, kewenangan untuk mengajukan pailit bagi Dana Pensiun diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat  terhadap Dana Pensiun. Dana Pensiun mengelola dana masyarakat dalam jumlah besar dan dana tersebut merupakan hak dari peserta yang banyak jumlahnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper