Bisnis.com, JAKARTA -- Pangeran Diponegoro adalah tokoh penting dalam sejarah Jawa. Dia adalah seorang pangeran, negarawan, sekaligus pemimpin perang dari wangsa Mataram yang pada masa hidupnya menjadi momok bagi kekuasaan Eropa di Tanah Jawa.
Diponegoro lahir pada tanggal 11 November 1785 atau tepat berumur 237 tahun pada hari ini. Nama kecilnya adalah Raden Mas Antawirya.
Sejarawan Peter Carey, salah satu peneliti dan penulis berbagai macam buku tentang Pangeran Diponegoro, dalam buku Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) menulis bahwa Diponegoro telah menjadi perhatian Kraton sejak kecil dan diramal akan menimbulkan kerusakan parah bagi Belanda.
Ramalan itu muncul ketika Diponegoro dibawa ke hadapan Sultan Mangkubumi (Hamengkubuwono I) yang saat itu sudah berusia cukup usia. Sultan, tulis Carey, mengatakan bahwa bayi [Diponegoro] akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar kepada Belanda dibanding dengan yang telah dia lakukan selama Perang Giyanti (1746-1755).
Perang Giyanti adalah perang suksesi Jawa yang kemudian membagi Mataram Islam ke dalam dua negara yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. "Tetapi hanya Yang Maha Kuasa yang tahu hasilnya," tulis Carey mengutip Babad Diponegoro.
Ramalan Sultan Mangkubumi ternyata terbukti. Pada tahun 1825, pecah perang. Belanda dan tentu dibantu oleh mitra pribumi mereka, menyerang Diponegoro yang tinggal di Tegalrejo. Perang segera berkecamuk ke seantero Jawa. Rakyat jelata, ulama, hingga para ningrat bahu membahu melawan Belanda yang salah satunya didukung oleh Yogyakarta.
Baca Juga
Semula Belanda terdesak dengan strategi gerilya dan hit and run yang diterapkan pasukan Diponegoro. Beberapa kali pasukan Belanda kewalahan menghadapi gelombang serangan dari pasukan yang terdiri dari berbagai macam latar belakang tersebut.
Soal pemicu perang sebenarnya ada banyak pendapat, yang dominan tentu provokasi Belanda yang memasang patok-patok di tanah milik leluhur Diponegoro. Namun demikian, banyak juga yang berpendapat bahwa hal itu terjadi karena intervensi Belanda yang cukup kuat di lingkungan istana. Demoralisasi istana sebagai pusat kebudayaan, politik dan agama orang Jawa terjadi begitu nyata.
Peter Carey sendiri melihat bahwa pecahnya Perang Jawa atau Diponegoro tidak lepas dari kondisi Jawa sebelumnya, mulai dari pasca bangkrutnya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), kekuasaan langsung Belanda, pengaruh Revolusi Prancis (HW Daendels), penjajahan Inggris, hingga kembalinya Belanda di Jawa.
Carey mengatakan Yogyakarta menjadi daerah yang paling menderita dalam perubahan-perubahan tersebut. Apalagi setelah perampokan besar-besaran yang dilakukan oleh tentara Inggris di bawah kekuasaan Thomas S Raffles, kas Yogyakarta jeblok. Kekuasaan Kraton juga semakin sempit dan hanya menjadi kaki tangan penguasa Eropa di Batavia.
Di sisi lain, kondisi lingkungan yang parah, wabah kolera, hingga harga pangan yang melonjak memicu perlawanan rakyat terhadap hegemoni Belanda dan ningrat-ningrat, kalau bahasa sekarang oligarki, yang memeras mereka tanpa ampun.
Diponegoro, kata Carey, dengan cepat menyatukan para bangsawan, pejabat tinggi yang dipecat, guru agama, para bandit profesional, kuli angkut, butuh harian, kaum sikep hingga tukang dalam gerakan bersama. Tujuan mereka adalah untuk restore order atau mengembalikan tatanan Jawa Islam yang telah dirusak oleh Belanda dan ningrat pendukungnya.
Perlawanan pecah pada Juli-Agustus 1825. Rakyat bergerak dan mulai menyerang. Perlawanan ini kemudian menandai dimulainya Perang Jawa yang legendaris itu. "Munculnya Diponegoro yang bergelar ratu adil menyatukan banyak elemen sosial yang berbeda di bawah panji-panji Islam Jawa."