Bisnis.com, JAKARTA -- Ratu Elizabeth II wafat. Jutaan orang seantero dunia mengucapkan duka cita. Tidak terkecuali sejumlah petinggi dan warga negara Indonesia.
Padahal kalau merunut sejarah, Inggris sejatinya pernah meninggalkan jejak kelam bagi bangsa Indonesia, terutama Jawa. Peristiwa itu terjadi pada Juni 1812 atau lebih dari 200 tahun lalu.
Syahdan, Inggris berkuasa di tanah Jawa usai mengalahkan Gubernur Jenderal Jan Willem Janssens, pengganti Daendels, dalam peperangan melawan Belanda, yang disokong Prancis.
Perang antara Inggris dan Prancis di Jawa merupakan bagian dari perang besar Napoleon Bonaparte di tanah Eropa. Belanda dikuasai Prancis dan Janssens adalah wakil Prancis di Hindia Timur.
Thomas S Raffles kemudian diangkat sebagai Letnan Jenderal Gubernur Jawa. Raffles oleh para penguasa lokal dianggap memberi harapan karena perangainya dinilai lebih baik dibandingkan Daendels.
Sri Sultan Hamengkubuwono II, salah satu penguasa lokal yang sempat dilengserkan dari Kraton Yogyakarta oleh Daendels, bahkan memandang bahwa pergantian kekuasan dari Belanda kepada Inggris sebagai suatu pertanda baik.
Baca Juga
Dia memanfaatkan itu untuk kembali naik tahta. Tak hanya itu, dia juga menyingkirkan lawan-lawan politiknya, salah satunya dengan membunuh Patih Danureja II.
"Jika Sultan HB II mengira bahwa Raffles akan berbeda dari Daendels, maka segera terbukti bahwa dia salah," tulis M.C Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, yang dikutip Senin (19/9/2022).
Raffles, kata Ricklefs, adalah pembaharu dan penentang depotisme laiknya Daendels. Itu artinya tidak ada perbedaan sikap antara Daendels dengan Raffles dalam memandang kekuasaan monarki.
Daendels, adalah seorang perwira militer, yang sangat terpengaruh dengan semangat egaliter Revolusi Prancis.
Meski demikian, hubungan antara Raffles dan Hamengkubuwono II berjalan baik. Tidak ada masalah.
Namun lambat laun, masalah mulai muncul. Sultan Hamengkubuwono II tidak mau tunduk. Dia memang dikenal sebagai penguasa yang berwatak keras dan anti terhadap penguasa Eropa.
Sri Sultan Hamengkubuwono II, Sumber: Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta
Permusuhan Sultan dengan Inggris pecah saat utusan Inggris, John Crawfurd mengunjungi Istana Yogyakarta pada November 1811. Dia dimaki oleh Sultan Hamengkubuwono II.
Pada Desember 1811, giliran Raffles sendiri yang berkunjung ke Istana Yogyakarta. Dia bernasib sama dengan Crawfurd, mendapat sikap permusuhan dari Hamengkubuwono II.
"Satu kejadian hampir saja menimbulkan perkelahian bersenjata di dalam ruangan yang penuh orang."
Konflik antara Inggris dan Kasultanan Yogyakarta mulai memuncak. Hal ini diperparah dengan gesekan di internal Istana antara Pangeran Natakusuma dengan Hamengkubuwono II. Natakusuma dibebaskan dari penjara. Dia bersekutu dengan Inggris. Putra Mahkota juga berada di kubu Inggris.
Di sisi lain, Pakubuwono IV, penguasa Kasunanan Surakarta, juga mengambil peran. Dia memprovokasi Hamengkubuwono II untuk melawan Inggris. Pakubuwono mengirim surat ke Hamengkubuwono. Namun persekongkolan semu itu terbongkar. Inggris naik pitam.
Ricklefs menyebutkan bahwa tujuan Pakubuwono sebenarnya tidak mendukung secara penuh Hamengkubuwono. Dia hanya ingin Kasultanan Yogyakarta hancur di tangan Eropa. Dengan demikian, hanya Surakarta menjadi satu-satunya kraton mayor penerus Mataram Islam.
Aliansi Inggris, Putra Mahkota dan Natakusuma bersiap menyerang kubu Hamengkubuwono II. Pada bulan Juni 1812, 1.200 prajurit Eropa dan 800 prajurit Legiun Mangkunegara menyerang Yogyakarta. Tembakan artileri saling bersahut antara dua kubu.
Yogyakarta jatuh. Sultan Hamengkubuwono II diasingkan ke Penang, sekarang Malaysia. Putra Mahkota kemudian menggantikannya sebagai Sultan dengan gelar Hamengkubuwono III.
Sedangkan Natakusuma dihadiahi suatu daerah yang merdeka. Daerah itu kemudian dikenal sebagai Pakualaman. Pangeran Natakusuma sendiri kemudian bergelar Pangeran Pakualam I.
Istana Yogyakarta mengalami nasib yang tragis. Inggris merampok harta karun Kraton. "Perpustakaan dan arsipnya dirampas dan sebagian besar uang diambil."
Misi Mengembalikan Harta Karun
Sampai saat ini upaya mengembalikan khazanah literatur (manuskrip) kuna yang dirampas Inggris terus dilakukan. Namun hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Sri Sultan HB X, seperti dikutip dari Harian Jogja, bercerita betapa perjuangan mengembalikan manuskrip kuno dari belahan dunia tidak berjalan secara tegak lurus. Sultan harus menapaki jalan penuh kelokan untuk mencapai tujuan.
Selama hampir satu dekade, kegigihan untuk meminta kembali 'pusaka keraton' itu mulai terwujud.
"Sebanyak 75 manuskrip akan dikembalikan meskipun dalam bentuk digital. Tidak asli tidak apa-apa, nanti bisa ditulis kembali, kan ada yang bentuk digital?" kata Sultan saat jumpa pers Internasional Symposium on Javanese Studies and Manuscripts of Keraton Yogyakarta dilansir dari Harian Jogja.
Potret prajurit Inggris asal India, Sumber: Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta
Perjuangan tersebut, kata Sultan, dilakukan sejak era kepemimpinan Megawati Soekarnoputri menjadi presiden RI (2001-2004). Kala itu, ada kerja sama antara Pemerintah RI dengan Inggris. Melihat ada peluang di bidang pendidikan, Sultan mengusulkan adanya klausul pengembalian naskah-naskah kuno yang dibawa ke tanah Inggris.
"Kesepakatan itu menjadi alasan saya mengirim surat ke British Library, menindaklanjuti salah satu perjanjian pemerintah Indonesia-Inggris menyangkut naskah," ujarnya.
Tak hanya melalui surat, prosesnya tidak mudah. Perlu waktu, bahkan Pemda DIY bolak-balik mengurusnya. Prosesnya saja setidaknya membutuhkan waktu sekitar lima tahun. Dan hal itu belum sepenuhnya membuahkan hasil. Pengalaman ini pun hanya negosiasi-negosiasi, bertemu melihat naskah mana yang dipilih dan lain sebagainya.
"Negosiasi, bertemu dengan duta besar, melihat naskah mana yang dipilih (untuk digitalisasi) butuh waktu lima tahun. Proses digitalisasi untuk 75 naskah saja butuh waktu satu tahun. Kalau enggak sabar ya sudah," katanya.
Menurut Sultan, naskah-naskah kuno milik kraton tidak hanya berada di British Library. Manuskrip tersebut juga tersebar di beberapa museum bahkan dikuasai oleh individu. Termasuk tersebar juga di Belanda.
Dia menyebut ada ribuan manuskrip kraton yang dijarah ketika Inggris menduduki Keraton pada 1812. "Naskah pada masa Hamengku Buwono II menurut sejarawan Prof. Djoko Suryo ketika lebih dari 7.000 naskah yang dibawa ke Inggris," kata Sultan
Sayangnya, kata Sultan, Inggris belum mau menandatangani perjanjian internasional soal pengembalian naskah tersebut. Meski begitu, upaya yang selama ini dicapai menjadi awal yang baik. Momentum tersebut, katanya, harus bisa di isi oleh daerah lain.
Pasalnya kekayaan daerah (provinsi) lain yang dibawa oleh Belanda dan Inggris untuk dikembalikan.
"Perjanjian yang ada kerjasama kebudayaan dengan negara lain bisa melakukan seperti ini. Kami pun melakukan pendekatan. Dalam perjanjian internasional sepertinya Inggris belum mau tanda tangan. Kokean sing dibalekke [kebanyakan manuskrip yang dikembalikan]," kata Sultan.