Bisnis.com, JAKARTA - Pendidikan pesantren memiliki akar sangat kuat dalam tradisi dan budaya masyarakat Islam Indonesia jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lahir.
Saat ini, berdasarkan data Kementerian Agama RI, jumlah pondok pesantren lebih dari 36.000, dengan santri lebih dari 4 juta.
Masing-masing pesantren mempunyai sistem dan satu sama lain mempunyai kekhasan yang berbeda-beda. Maka, penjaminan mutu yang dimaksud tidak melakukan penyeragaman terhadap keseluruhan pesantren. Salah satu karakteristik penting Pendidikan pesantren adalah kemandiriannya, mulai dari tata Kelola, kurikulum, sistem.
Pesantren menyelenggarakan Pendidikan formal (Pendidikan Diniyah Formal (PDF), Ula, Wustho, Ulya, Pendidikan Muadalah Ula, Wustho, Ulya dan Ma’had Aly) dan/atau Pendidikan non-formal yakni pengkajian kitab kuning. Empat satuan Pendidikan tersebut yang menjadi kewenangan Majelis Masyayikh.
Untuk menjamin mutu pendidikan di pesantren Majelis Masyayikh sebagai instrumen penting guna mewujudkan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Pesantren memegang empat prinsip arah kebijakan Pendidikan Pesantren.
1. Pertama, fleksibilitas
Baca Juga
Produk dan kebijakan pendidikan Pesantren yang akan ditetapkan oleh Majelis Masyayikh menganut prinsip fleksibilitas. Prinsip fleksibilitas ini untuk menjaga keragaman dan kekhasan pesantren. Karena itu, Majelis Masyayikh hanya mengatur hal-hal yang bersifat prinsip dan umum. Sementara, ketentuan teknisnya dapat disesuaikan dengan konteks masing-masing pesantren.
2. Kedua, kriteria minimal
Produk dan kebijakan pendidikan Pesantren yang akan ditetapkan oleh Majelis Masyayikh menganut prinsip “minimal”, artinya, Majelis Masyayikh mengeluarkan kriteria minimal yang perlu dipenuhi oleh masing-masing pesantren. Karena bersifat “minimal”, maka pesantren tentu dapat melampaui kriteria minimal tersebut.
3. Ketiga, memberdayakan
Prinsip kebijakan pendidikan Pesantren itu bersifat “memberdayakan”, bukan menghakimi dan menghukum. Dalam konteks melakukan penilaian dan evaluasi, misalnya, prinsip memberdayakan diutamakan. Dengan prinsip memberdayakan ini, maka pesantrenpesantren yang belum mencapai kriteria minimal yang ditetapkan akan diberikan “rekomendasi” pemenuhan kriteria minimal. Karena itu, Majelis Masyayikh secara intensif akan berkoordinasi dengan Dewan Masyayikh.
4. Keempat, Akuntabilitas
Kebijakan pendidikan yang akan dikeluarkan Majelis Masyayikh dilakukan secara akuntabel, melalui 1) kajian akademik, 2) diskusi dengan stakeholder, termasuk asosiasi, 3) diskusi pakar, dan 4) ujicoba. Dengan akuntabilitas ini, maka produk kebijakan Majelis Masyayikh dapat diterima dan dijalankan oleh masing-masing pesantren.
Dibentuknya Majelis Masyayikh ditujukan untuk merumuskan dan menetapkan sistem penjaminan mutu Pendidikan Pesantren. Sistem penjaminan mutu ini berfungsi untuk 1) melindungi kemandirian dan kekhasan Pesantren; 2) Melindungi kemandirian dan kekhasan Pesantren; 3) Memajukan penyelenggaraan pendidikan pesantren.
Tujuannya adalah: 1) Memajukan penyelenggaraan pendidikan pesantren, 2) Memajukan penyelenggaraan pendidikan pesantren, 3) Memajukan penyelenggaraan pendidikan pesantren.
Kementerian Agama sendiri telah melantik sembilan anggota Majelis Masyayikh pada 31 Desember 2021. Yakni KH. Azis Afandi (Pesantren Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya, Jawa Barat), KH. Abdul Ghoffarrozin, M.Ed (Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati, Jawa Tengah), Dr. KH. Muhyiddin Khotib (Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo), KH. Tgk. Faisal Ali (Pesantren Mahyal Ulum Al-Aziziyah, Aceh Besar, Aceh), Nyai Hj. Badriyah Fayumi, MA (Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadits, Bekasi, Jawa Barat), Dr. KH. Abdul Ghofur Maimun (Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah), KH. Jam’an Nurchotib Mansur/Ust. Yusuf Mansur (Pesantren Darul Qur’an, Tangerang, Banten), Prof. Dr. KH. Abd. A’la Basyir (Pesantren Annuqoyah, GulukGuluk, Sumenep, Jawa Timur), 9) Dr. Hj. Amrah Kasim, Lc, MA (Pesantren IMMIM Putri, Pangkep, Sulawesi Selatan)