Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Vladimir Putin Berusaha Tumbuhkan Sentimen Antibarat kepada Pemimpin Asia

Vladimir Putin tengah berusaha untuk menumbuhkan sentimen anti-barat kepada pemimpin-pemimpin di Asia.
Presiden Rusia Vlamidir Putin/Dok. Kremlin
Presiden Rusia Vlamidir Putin/Dok. Kremlin

Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Rusia Vladimir Putin tengah berusaha untuk menumbuhkan sentimen anti-barat kepada pemimpin-pemimpin di Asia.

Dalam pidatonya baru-baru ini, Putin memerangi dugaan "fasis" di Kyiv menjadi sentimen anti-barat yang telah mempersenjatai Ukraina dengan tujuan memperluas pengaruhnya dengan mengorbankan Rusia.

"Dunia menjadi benar-benar multi-kutub. Dan Asia, di mana pusat-pusat kekuatan baru muncul, memainkan peran penting, jika bukan kunci, di dalamnya," kata Putin dikutip dari laman Channel News Asia, Kamis (13/10/2022).

Pada pertemuan Conference on Interaction and Confidence Building Measures in Asia (CICA) di Ibu Kota Kazakh, Astana, Putin menggambarkan Barat sebagai kekuatan neo-kolonial yang bertekad menghambat perkembangan dunia dan mengeksploitasi negara-negara miskin.

"Seperti banyak mitra kami di Asia, kami percaya revisi diperlukan dari sistem keuangan global, yang selama beberapa dekade memungkinkan apa yang disebut 'miliar emas', yang mengalihkan semua aliran modal dan teknologi ke diri mereka sendiri untuk hidup sebagian besar dengan biaya orang lain," katanya.

Namun, anggota CICA memiliki agenda sendiri yang beragam, dan juga menjadi lebih berharga bagi Rusia sebagai pelanggan minyak, gas, dan komoditas lain yang sulit dijual ke Barat.

CICA mencakup beberapa negara eks-Soviet Asia Tengah yang menganggap Rusia sebagai bekas penguasa kolonial mereka - serta China, India dan beberapa negara Arab dan Asia Tenggara, yang telah diuntungkan dari hubungan perdagangan yang erat dengan Barat dan Jepang.

Di sisi lain, Kyiv dan Barat menyangkal niat untuk mengancam atau melemahkan Rusia, yang mereka sebut sedang mengobarkan perang agresi imperialis terhadap Ukraina.

Kanselir Jerman Olaf Scholz pada Kamis (13/10/2022) menggambarkan perang di Ukraina sebagai bagian dari "perang salib" Rusia melawan demokrasi liberal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper