Bisnis.com, JAKARTA – Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman menilai meski jumlah impor vaksin Covid-19 menurun seiring dengan melandainya kasus, Indonesia masih akan perlu impor selama dua hingga tiga tahun ke depan.
Dicky melihat saat ini Indonesia belum dapat berdiri sendiri tanpa vaksin impor, meski Vaksin Merah Putih (VMP) tengah dikembangkan dan diproyeksikan dapat digunakan di pertengahan tahun ini.
“Dalam pengamatan saya, dalam tiga tahun ke depan kita masih akan perlu vaksin impor. Bagaimanapun antara kebutuhan dan kesediaan yang bisa di-supply, katakanlah dalam negeri itu Sinovac, itu belum sebanding,” ujar Dicky, Selasa (26/4/2022).
Menurut Dicky, butuh waktu yang tidak sebentar bagi tim peneliti VMP karena harus memenuhi regulasi global, bukan hanya nasional, salah satunya terkait intellectual property right.
Namun demikian, langkah Indonesia mengembangkan vaksin Covid-19 dalam negeri menjadi terobosan besar karena menjadi kegiatan pertama dalam sejarah. Dicky meminta pemerintah untuk terus mendukung pengembangan ini yang suatu saat dapat memenuhi kebutuhan vaksin dalam negeri.
“VMP menjadi langkah besar karena itu pertama dalam sejarah kita. Harus terus didukung, penduduk kita besar, kebutuhan vaksin halal tinggi, itu bisa menjadi cikal bakal kebutuhan vaksin dalam negeri,” ungkap Dicky.
Sementara itu, menurut Dicky kebutuhan vaksin akan terus ada terutama untuk dosis satu, dua dan booster bagi kelompok anak usia dini (0-6 tahun) yang belum mendapatkan vaksin.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2021 terdapat 30,83 juta anak usia dini. Komposisi anak usia dini berdasarkan kelompok umur 5-6 tahun sebesar 29,28 persen atau sekitar 9 juta anak yang dapat divaksin pada 2022.
Pada kelompok usia 1-4 tahun, terdapat 57,16 persen atau sekitar 17,6 juta jiwa. Nilai ini menunjukkan dalam beberapa tahun ke depan saja, berarti ada kebutuhan dosis sebesar 52.8 juta (dosis 1,2, dan booster) untuk kelompok anak tersebut.
Dicky menjelaskan, kewajiban booster dan kemungkinan dosis selanjutnya memiliki kecenderungan memerlukan vaksin lebih efektif untuk varian Omicron serta varian yang baru ditemukan lainnya. Dalam hal ini, Dicky melihat kebutuhan vaksin yang menuntut berbasis messenger RNA (mRNA).
“Selama Sinovac ataupun vaksin lain saat ini belum dimodifikasi atau belum terbukti efektif untuk Omicron dan lainnya, tentu akan bergantung pada Impor,” jelas Dicky.
Bila melihat data dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), per Januari 2022 hingga Februari 2022, nilai impor vaksin sebesar Rp3,49 triliun dengan jumlah vaksin sebanyak 47,48 juta dosis jadi/vial.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 92/PMK.04/2021, pemerintah melalui Bea Cukai memberikan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor barang-barang kebutuhan penanganan Covid-19, nilai tersebut mendapatkan insentif fiskal sebesar Rp712 miliar.