Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah Belanda meminta maaf kepada Indonesia atas kekerasan militer Belanda pada masa Perang Kemerdekaan 1945-1949.
Namun demikian, anggota parlemen Belanda Geert Wilders mengkritisi permintaan maaf pemerintah Belanda.
Wilders, yang kerap mengundang krontroversi tersebut, menganggap bahwa permintaan maaf tersebut tidak pantas karena pihak Belanda juga banyak dirugikan selama perang kemerdekaan Indonesia.
"Dimana permintaan maaf dari pihak Indonesia atas kekerasan mereka terhadap Belanda dan bersiap?," demikian dikutip dari akun twitter @geertwilderspvv, Sabtu (19/2/2022).
Waar zijn de excuses van Indonesische zijde voor hun geweld tegen Nederlanders en de Bersiap? Het veroordelen van Nederlandse militairen is geschiedvervalsing. Het waren helden. We moeten achter onze veteranen staan.
— Geert Wilders (@geertwilderspvv) February 17, 2022
Excuses zijn ongepast.#Indonesie
Politisi sayap kanan tersebut menambahkan menghukum tentara Belanda sama saja memalsukan sejarah. "Mereka adalah pahlawan. Kita harus berdiri di belakang veteran kita. Permintaan maaf tidak pantas," imbuhnya.
Permintaan Maaf
Sebelumnya, Belanda menyapaikan maaf atas aksi kekerasan selama revolusi kemerdekaan 1954-1949. Permintaan maaf itu disampaikan Perdana Menteri Belanda Rutte pada konferensi pers di Brussel, ibu kota Belgia pada Kamis, 17 Februari 2022.
"Kami harus menerima fakta yang memalukan. Saya meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada rakyat Indonesia hari ini atas nama pemerintah Belanda," kata Rutte dikutip, Selasa (
Menurut studi tersebut, Belanda melakukan kekerasan secara sistematik, melampaui batas, dan tidak etis dalam upayanya mengambil kembali kendali atas Indonesia, bekas jajahannya, pasca-Perang Dunia II.
Rutte menanggapi temuan studi tersebut, yang mengatakan militer Belanda telah terlibat dalam kekerasan sistematis, berlebihan dan tidak etis selama perjuangan Kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1949, dan ini telah dibiarkan oleh pemerintah dan masyarakat Belanda pada saat itu.
Temuan tinjauan, yang didanai oleh pemerintah Belanda pada tahun 2017 dan dilakukan oleh akademisi dan pakar dari kedua negara, dipresentasikan pada hari Kamis di Amsterdam.
Kekerasan dan Penyiksaan
Kekerasan oleh militer Belanda, termasuk tindakan seperti penyiksaan yang sekarang akan dianggap sebagai kejahatan perang, "sering dan meluas," kata sejarawan Ben Schoenmaker dari Institut Sejarah Militer Belanda, satu dari lebih dari dua lusin akademisi yang berpartisipasi dalam penelitian tersebut.
"Para politisi yang bertanggung jawab menutup mata terhadap kekerasan ini, seperti halnya otoritas militer, sipil dan hukum: mereka membantunya, mereka menyembunyikannya, dan mereka menghukumnya hampir atau tidak sama sekali," katanya.
Sekitar 100.000 orang Indonesia tewas sebagai akibat langsung dari perang, dan meskipun persepsi konflik telah berubah di Belanda, pemerintah Belanda tidak pernah sepenuhnya memeriksa atau mengakui ruang lingkup tanggung jawabnya.
Pada 1969 Pemerintah Belanda menyimpulkan bahwa pasukannya secara keseluruhan telah berperilaku benar selama konflik, tetapi mengakui pada 2005 bahwa mereka "berada di sisi sejarah yang salah".