Bisnis.com, JAKARTA — Deputi Koordinasi Bidang Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Septian Hario Seto menegaskan bahwa pendirian PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) yang melibatkan PT Toba Sejahtera milik Menko Luhut Binsar Pandjaitan adalah murni bersifat sosial atau tidak mencari untung.
"Di dalam perjanjian pemegang saham GSI, ada ketentuan bahwa 51 persen dari keuntungan harus digunakan kembali untuk tujuan sosial. Oleh karena itu, sampai detik ini tidak ada pembagian keuntungan seperti dividen kepada pemegang saham,” kata Seto melalui keterangan tertulis, Senin (8/11/2021).
Bahkan, sambungnya, hasil laba yang lain digunakan untuk melakukan reinvestasi terhadap peralatan atau kelengkapan laboratorium lain, salah satunya untuk melakukan genome sequencing.
Seto juga menjelaskan alasan Menko Luhut ikut menginisiasi pendirian PT GSI meskipun sejak awal sudah mengetahui bahwa dirinya tidak akan mendapatkan keuntungan material dari sana.
Dia mengaku menyarankan Sang Menteri untuk ikut berpartisipasi dalam pendirian laboratorium pemeriksaan virus karena kondisi saat itu laboratorium yang ada Indonesia masih memiliki banyak kekurangan.
“Usul saya ke Pak Luhut, kita ikut berpartisipasi untuk pendirian lab ini. Maka tanpa pikir panjang, Pak Luhut menyampaikan ke saya, kita bantu lah to mereka ini. Akhirnya melalui Toba Sejahtera [yang memiliki dana untuk kebutuhan ini], Pak Luhut ikut mendukung pendirian lab tersebut. Maka lahirlah GSI, setelah itu, kami tidak monitor lagi mengenai GSI ini,” ungkap Seto.
Seto menceritakan pula kronologi masalah yang terjadi terkait tes PCR dimana salah satunya adalah keterbatasan alat ekstraksi RNA.
Menurutnya, selama beberapa bulan, laboratorium yang ada masih menggunakan ekstraksi RNA secara manual untuk tes PCR. Sementara itu, untuk mengadakan alat-alat terkait tes PCR akan terkendala waktu jika hanya mengandalkan APBN.
Seto mengungkapkapkan bahwa Luhut kemudian memerintahkan dirinya untuk mencari alat PCR yang nantinya akan didonasikan ke fakultas kedokteran di beberapa kampus. Hal itu dilakukan karena fakultas kedokteran memiliki skill untuk menjalankan tes pcr dan ke depannya bisa digunakan untuk penelitian yang lain.
"Soal uang, nanti kita sumbang saja To," kata Seto menirukan perintah Luhut kepada dirinya.
Dia mengaku telah mengubungi sejumlah dekan perguruan tinggi seperti dekan FK UI, Unpad, UGM, Unair, Udayana dan USU untuk menjelaskan maksud dan tujuannya mendonasikan alat PCR. Menurutnya, beberapa ada yang merespons dengan cepat, tetapi ada juga beberapa yang tidak merespons sama sekali.
"Mungkin dianggapnya prank kali ya," ujarnya.
Lebih lanjut, dia mengatakan para dekan tersebut kemudian mengenalkannya kepada PIC masing-masing. Disinilah kemudian Seto mengenal dr Anis yang menjadi wadek FKUI, dr Lia dari Unpad, dr Happy dari Undip, Prof Inge dari Institute of Tropical Disease Unair, dr Lia dari USU, dan Prof Ova dari UGM.
"Mereka itulah yang kemudian mengajarkan saya lebih detail mengenai test PCR ini, alat-alat apa saja yang diperlukan, serta rekomendasi merek yang bagus. Berdasarkan diskusi dengan mereka, waktu itu diputuskan bahwa kita akan beli alat PCR dari Roche," ujarnya.
Dia mengungkapkan order untuk alat PCR merek Roche pun dilakukan pada akhir Maret 2020. Dalam perjalanannya, Seto bertemu dengan Budi Gunadi Sadikin yang saat itu masih menjabat sebagai Wamen BUMN.
"Beliau rupanya juga diperintahkan Pak Erick [Menteri BUMN] untuk mencari alat PCR ini guna rumah sakit-rumah sakit BUMN. Jadi dibandingkan nanti kita rebutan alat PCR, saya menawarkan ke Pak Budi supaya kita pesen bareng-bareng ke Roche, sehingga ordernya bisa lebih besar dan harapannya tentu saja kita bisa nawar harga yang lebih baik," ungkapnya.
Pada akhir April 2020, alat-alat PCR mulai datang dan mulai distribusikan ke fakultas-fakultas kedokteran yang disebutkan tadi. Hal itu dilakukan berkat lobi dari Kemenlu, Kementerian BUMN, dan berbagai pihak lain yang dilakukan untuk meminta Roche agar barang yang sudah dipesan tidak di rebut negara lain karena saat itu pihaknya mendapat informasi ada 1 negara timur tengah yang sudah menyediakan US$100 juta dan bersedia membayar tunai di depan untuk membeli alat-alat PCR yang tersedia di pasar saat itu.
"Setelah alat datang, bukan berarti barang bisa langsung digunakan, karena kita harus menunggu reagen PCR-nya datang. Awal Mei reagennya kemudian baru datang. Masalah belum selesai, para lab itu kemudian juga menyampaikan bahwa mereka butuh VTM (Viral Transport Medium). Saya tanya ke mereka barang apapula itu. Mereka menjelaskan bahwa VTM ini adalah alat untuk menampung hasil swab yang akan mendeaktifkan virusnya sebelum kemudian bisa dilakukan ekstraksi RNA," paparnya.
Singkatnya, dia mengatakan berbagai kebutuhan untuk tes PCR itu bisa didapatkan dan laboratorium di berbagai fakultas kedokteran itu bisa mulai melakukan tes. Namun karena proses ekstraksinya masih manual, masing-masing lab paling hanya bisa melakukan 100-200 test per hari. Jauh dari target yang pemerintah 700-1.000 tes per hari.
"Masalah kemudian muncul karena alat ekstraksi RNA yang kita pesan dari Roche tidak bisa didapatkan. Kalau tidak salah karena suplai barangnya sangat terbatas dan diperebutkan oleh negara-negara lain juga. Kita waktu itu memutuskan untuk cari merek lain. Setelah tanya-tanya dari masing-masing lab, dapatlah rekomendasi merek Qiagen dari Jerman. Kita pesan barangnya, namun ternyata mereka tidak bisa memenuhi reagennya. Alat ekstraksi RNA ini memang menggunakan closed system, artinya hanya bisa digunakan dengan reagen yang diproduksi mereka sendiri," jelasnya.
“Saya bersama beberapa teman akhirnya putar otak ke China, kita carilah alat ekstraksi RNA dan reagennya. Setelah tanya sana-sini, dapatlah satu perusahaan yang merupakan afiliasi salah satu universitas di sana. Jadi semacam badan usahanya yang bergerak dibidang bioteknologi,” jelasnya.
Dari upaya tersebut, akhirnya diperoleh alat ekstraksi RNA dengan harga yang lebih murah, meskipun kapasitasnya lebih kecil.
“Sebelum kita memutuskan beli, kami meminta FKUI untuk melakukan pengujian terhadap barang-barang ini. Hasilnya di luar dugaan kami cukup baik. Alat ekstraksi RNA-nya mudah digunakan, dan bisa melakukan ekstraksi dalam waktu 1 jam. Reagen PCR-nya pun ternyata memiliki sensitivitas yang lebih baik dibandingkan yang beredar dipasaran pada waktu itu,” ungkap Seto.