Bisnis.com, JAKARTA - Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) yang terdiri dari 15 organisasi masyarakat sipil menilai Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) tidak memiliki dasar pembentukan hukum yang layak dan memadai dalam proses pembentukannya.
Oleh karena itu, KEPAL meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan UU Cipta Kerja yang dinilai cacat formil dalam pembentukannya.
“Saat ini sidang Mahkamah Konstitusi perkara Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945 telah memasuki agenda Rapat Pemusyawaratan Hakim, untuk selanjutnya agenda pembacaan putusan oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi,” tulis KEPAL dalam keterangan tertulis yang diterima Bisnis, Rabu (3/11/2021).
Cacat formil pertama, menurut KEPAL, yakni ketidakmampuan pemerintah dan DPR menjawab dalil-dalil para pemohon dan memenuhi perintah majelis hakim MK untuk menyerahkan bukti berupa versi RUU Cipta Kerja yang dibahas dan yang telah disahkan menunjukkan proses pembentukan UU a quo mengandung cacat formil.
Kedua, pembentukan UU Ciptaker sejak awal telah mendiskriminasi unsur petani nelayan dan masyarakat pedesaan.
Hal tersebut tidak saja tercermin dalam materi UU CK, tetapi keterangan pemerintah dan DPR serta saksi-saksi yang dihadirkan oleh pemerintah dan DPR dalam persidangan MK menunjukkan bahwa unsur petani, nelayan dan masyarakat di pedesaan tidak dilibatkan dalam pembahasan dan sosialisasi.
Baca Juga
“Dalam keterangan DPR yang disampaikan melalui Arteria Dahlan menegaskan bahwa karena Indonesia sudah menjadi anggota WTO (World Trade Organization), maka harus tunduk dan patuh pada ketentuan WTO secara mengikat, termasuk bilamana ada aturan Indonesia yang bertentangan dengan ketentuan WTO, dapat disesuaikan agar selaras. Pernyataan ini mengonfirmasi permohonan para pemohon yang mendalilkan bahwa proses pembentukan UU Cipta Kerja syarat dengan intervensi dari WTO,” jelas KEPAL.
Dengan begitu, UU Ciptaker tidak sejalan dengan kepentingan nasiona. Khususnya komitmen Indonesia dalam proses mengubah empat undang-undang nasional yang berkaitan dengan pangan dan pertanian.
Kejanggalan
Empat undang-undang itu adalah: UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, UU Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura, UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
“Empat undang-undang itu dipaksa diubah dan dimasukkan pengubahannya dalam UU Cipta Kerja karena intervensi dari WTO,” ujar KEPAL.
Kejanggalan selanjutnya, lanjut KEPAL, terkonfirmasi dalam persidangan MK, berdasarkan bukti yang diajukan pemerintah serta keterangan saksi yakni Saksi Yorrys Raweyai, Saksi Haiyani Rumondang, Saksi Said Iqbal, pada pokoknya menerangkan bahwa belum pernah menerima dan mempelajari naskah akademik RUU Cipta Kerja dalam setiap pembahasan yang diikuti oleh para saksi.
Bahkan, dalam keterangan saksi Said Iqbal dalam rapat pertama di Kementerian Tenaga Kerja pada tanggal 3 juli 2020 mengungkapkan bahwa wakil ketua DPR dan ketua Panja Baleg pembahasan RUU bahkan tidak ada dan tidak menerima naskah akademik RUU Cipta Kerja.
Berdasarkan fakta tersebut, KEPAL menyimpulkan bahwa sebenarnya naskah akademik RUU Cipta Kerja sebenarnya tidak ada dan tidak dilampirkan pada saat penyerahan RUU Cipta Kerja kepada DPR RI.
“Dalil pemohon tentang UU Cipta Kerja yang memuat 79 undang-undang dibuat tanpa adanya partisipasi masyarakat yang berdampak langsung sejalan dengan keterangan ahli DR. Witjipto Setiadi yang menyatakan bahwa pembahasan RUU tentang Cipta Kerja terkesan dilakukan secara tertutup dan sangat terburu-buru, sehingga mengabaikan ruang partisipasi publik masyarakat untuk memberikan masukan,” jelasnya.