Bisnis.com, JAKARTA – Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang komprehensif akan dapat memberikan kepastian hukum yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi digital.
Peneliti CIPS Noor Halimah Anjani mengatakan UU ITE masih memiliki pasal-pasal multitafsir yang berpotensi menimbulkan permasalahan dan memakan korban dari masyarakat yang seharusnya dilindunginya.
Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menunjukkan bahwa tanpa revisi, alih-alih melindungi masyarakat dalam ruang digital, UU ITE dengan pasal-pasal multitafsirnya, justru lebih sering digunakan untuk melakukan kriminalisasi.
“Revisi pada pasal-pasal multitafsir ini sangat perlu dilakukan karena selain akan mempengaruhi pelaksanaan UU ITE itu sendiri, juga akan mempengaruhi peraturan-peraturan turunannya,” kata Halimah, Rabu (8/9/2021)
Lebih lanjut, dia menjelaskan saat ini pemerintah memutuskan revisi UU ITE hanya akan dilakukan terhadap empat pasal terkait perbuatan yang dilarang, antara lain Pasal 27 ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 28 ayat (1) & (2); Pasal 29; dan Pasal 36. Pemerintah juga berencana menyertakan satu pasal tambahan pada ketentuan pidana yaitu pasal 45C.
Namun, dia melanjutkan sebenarnya masih terdapat pasal multitafsir lainnya. Sebagai contoh, pasal 40 UU ITE mengenai muatan informasi elektronik yang dilarang dan konsekuensi pemutusan akses pada informasi elektronik tersebut.
Peraturan turunannya, Peraturan Menteri Komunikasi No. 5/2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat, juga mencakup perihal pemutusan akses pada konten yang dianggap meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.
“Selain penggunaan frasa “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum” yang dilihat sebagai frasa yang multitafsir, penerapannya juga akan memberatkan para pelaku usaha karena mereka harus mampu memantau seluruh konten informasi pada platform mereka masing-masing dengan ancaman pemutusan akses oleh pemerintah bila gagal,” jelasnya.
Selain itu, dia mengatakan terakhir kalinya UU ITE direvisi adalah pada 2016, sementara pesatnya perkembangan teknologi dan informasi tentunya sudah memunculkan problematika dan ancaman baru semenjak itu.
Menurutnya, revisi UU ITE dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk menambahkan aspek-aspek penting sesuai dengan kondisi ruang digital saat ini.
Halimah menambahkan, pembahasan Rancangan Undang-Undangan Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) dan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) sebaiknya juga dipercepat karena pengesahan keduanya dapat melengkapi UU ITE.
Saat ini fokus pembahasan revisi UU ITE mencakup enam masalah, yaitu ujaran kebencian, kebohongan, perjudian daring, kesusilaan, fitnah dan pencemaran atau penghinaan. ber
CIPS berpendapat revisi ini seharusnya dilakukan secara komprehensif dengan membahas aspek-aspek penting yang dapat mendukung transformasi digital dan pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia.
“Tidak diperlukan mencabut UU ITE secara keseluruhan, tetapi hanya menyesuaikan pembahasan dengan perkembangan teknologi dan komunikasi saat ini,” ujarnya.