Bisnis.com, JAKARTA - Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito mengingatkan masyarakat terkait rencana relaksasi kebijakan pembatasan.
Menurutnya, relaksasi atau pembukaan pembatasan itu seringkali disalahartikan oleh masyarakat. Relaksasi, tegasnya, bukan berarti kondisi sudah aman dari pandemi Covid-19.
Oleh karena itu, dia meminta kesadaran masyarakat bahwa relaksasi itu tidak berarti kondisi aman sehingga protokol kesehatan masih wajib diterapkan.
"Hal yang disayangkan, relaksasi sering disalahartikan sebagai keadaan aman, sehingga protokol kesehatan dilupakan dan penularan kembali serta kasus meningkat lagi," ujarnya, seperti dikutip dari laman resmi Satgas Penanganan Covid-19, Rabu (21/7/2021).
Wiku memerinci, dalam penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia, pemerintah menerapkan pola kebijakan bersifat pengetatan dan relaksasi atau langkah gas dan rem. Pengetatan dilakukan selama empat hingga delapan minggu untuk menurunkan penambahan kasus yang dilanjutkan dengan relaksasi untuk meminimalisir dampak terhadap perekonomian yang ditimbulkan akibat pengetatan.
Relaksasi tersebut dilakukan antara 13 - 20 minggu. Selama 1,5 tahun penanganan pandemi, terhitung pengetatan dan relaksasi dilakuan sebanyak tiga kali dan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat 3 - 25 Juli 2021 menjadi pengetatan yang keempat.
Baca Juga
Penyalahartian itu, kata Wiku, membuat kasus meningkat hingga mencapai 14 kali lipat pada masa relaksasi itu.
"Karenanya, kebijakan relaksasi yang tepat akan menentukan keberhasilan penanganan pandemi Covid-19," jelasnya.
Dia pun menilai hal tersebut perlu dijadikan refleksi dalam pengetatan saat ini. "Keputusan relaksasi yang akan diambil kelak harus belajar dari pengalaman sebelumnya. Karena, relaksasi sering tidak diikuti dengan sarana dan prasarana fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas protokol kesehatan yang ideal," jelasnya.
#ingatpesanibu #sudahdivaksintetap3m #vaksinmelindungikitasemua