Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Presiden Jokowi, Tuduhan King of Lip Service, dan Ancaman Era Post-Truth

Di saat opini dan emosi bisa menjadi keyakinan baru, Istana perlu melakukan langkah-langkah komunikasi politik yang terukur.
Presiden Joko Widodo saat membuka Pesta Kesenian Bali ke-43, secara virtual, Sabtu (12/06/2021)./Youtube Setpres
Presiden Joko Widodo saat membuka Pesta Kesenian Bali ke-43, secara virtual, Sabtu (12/06/2021)./Youtube Setpres

Bisnis.com, JAKARTA - Belakangan ini berita soal tudingan bahwa Presiden Joko Widodo seorang King of Lip Service sedang menjadi percakapan, termasuk di media sosial.

Kritikan yang sebetulnya wajar di sebuah negara demokrasi, bisa diartikan lain jika para analis di lingkungan Istana membacanya dalam perspektif lain. Misalnya, melihat sebagai potensi ancaman bagi legitimasi pemerintahan.

Terlebih, saat ini, kita sedang berada di era post-truth, saat batas antara kebenaran dan kebohongan menjadi sedemikian baur.

Bahkan, Istana pun bisa dianggap berbohong jika opini yang menyebutkan Istana sebagai sumber kebohongan mengalir dengan deras di berbagai saluran media dan biasanya bermula dari serangan di media sosial.

Para analis kebijakan dan pakar komunikasi dan politik di Istana harus bisa mengantisipasi opini yang bisa membuat baur antara mana kebenaran dan kebohongan. Mereka juga harus dapat memastikan bahwa apa yang dikatakan Istana memang kebenaran, walaupun belum tentu apa pun yang dilakukan Istana akan dianggap sebagai kebenaran oleh kubu di luar Istana.

Soal post-truth, Daniel Levitin penulis buku Weaponized Lies , How to Think Critically in the Post-Truth Era, mengutip definisi dari kamus Oxford.

Kamus tersebut mendefinisikan post-truth sebagai “relating to or denoting circumstances in which objective facts are less influential in shaping public opinion than appeals to emotion and personal belief.”

Post-truth adalah hal yang berkaitan dengan atau yang menunjukkan fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada emosi dan keyakinan pribadi.

Di era ini, opini yang menggelinding kuat dan makin membesar bagai bola salju akan mampu menghancurkan kebenaran bahkan legitimasi yang selama ini diakui.

Gelindingan opini ini, kalau membesar tentu akan menjadi ancaman bagi kukuhnya legitimasi seorang presiden. Di sisi lain, ini juga merupakan cobaan bagi demokrasi di Indonesia. Apakah rakyat masih boleh melontarkan kritik kepada Presiden, ataukah justru sebaliknya, akan ditindas dengan tanpa ampun, baik secara terbuka atau pun diam-diam.

Oleh sebab itu, diperlukan langkah-langkah cerdas dari Istana untuk mengantisipasi gelindingan isu tersebut tanpa harus mematikan demokrasi.

Awal Kejadian

Kejadian ini bermula dari munculnya kritik dari kalangan BEM UI melalui akun Instagram @bemui_official yang memberikan gelar "King of Lips Service" kepada Presiden Jokowi.

Selang beberapa jam usai unggahan itu ramai, pihak Rektorat UI dikabarkan memanggil 10 pengurus BEM UI.

Pihak Rektorat UI konon memanggil BEM UI untuk mengklarifikasi maksud penyebutan Jokowi the king of lip service

Dalam surat yang beredar pihak rektorat memanggil 10 pengurus BEM UI, termasuk Ketua BEM UI Leon Alvinda Putra.

"Sehubungan dengan beredarnya poster yang dikeluarkan BEM UI yang menggunakan foto Presiden RI dengan ini kami memanggil saudara," demikian isi surat yang ditandatangani Direktur Kemahasiswaan UI Tito Latif Indra, Minggu (27/6/2021).

Adapun maksud pemanggilan itu adalah untuk menyampaikan keterangan dan penjelasan terkait narasi dalam poster tersebut. 

Sebelumnya, melalui akun @BEMUI_Official, organisasi kampus itu secara blak-blakan menyebut Presiden Jokowi sebagai the king of lip service.  “Itu bentuk kritis kami jadi itu dibuat oleh Brigade [organ taktis] di bawah BEM UI. Itu bentuk kritik bahwa banyak selama ini pernyataan Presiden yang kemudian tidak sesuai dengan realita atau pelaksanaannya,” kata Leon kepada Bisnis.com, Minggu (27/6/2021).

Dia mencontohkan soal revisi UU ITE. Presiden, kata dia, sebelumnya sempat mengeluarkan wacana terkait beleid itu. Belakangan pemerintah hanya mengeluarkan pedoman undang-undang ditambah pasal baru.

Selain itu terkait demonstrasi, Jokowi sempat menyatakan kerinduannya untuk didemo saat awal-awal memimpin Indonesia. Akan tetapi, tindakan kekerasan malah dialami mahasiswa saat berunjuk rasa.

“Pada 1 Mei mahasiswa UI hampir 30 orang ditangkap, dipukuli, diseret oleh Polisi. 3 Mei juga salah satu mahasiswa UI menjadi tersangka ketika jalan pulang dari aksi,” katanya. Leon turut menyinggung soal tes wawasan kebangsaan pegawai KPK. Meski Presiden telah meminta agar TWK tidak merugikan para pegawai, pemerintah tetap menonaktifkan 75 orang pegawai komisi antirasuah tersebut.

“Ini kami menyampaikan kritik bahwa seharusnya Presiden Jokowi tegas dengan pernyataanya jangan hanya kemudian menyampaikan pendapat tapi realitanya tidak sesuai,” tuturnya.

Panggilan terhadap BEM UI direspons ekonom senior Faisal Basri.

"Leon (Ketua BEM UI Leon Alvinda Putra), dkk (dan kawan-kawan) jangan gentar. Kalian pantas muak dengan keadaan negeri. Tahu kan mengapa rektor takut dengan sikap kalian," ujar Faisal Basri melalui akun Twitter resminya, @FaisalBasri, dilansir dari Tempo, Senin (28/6/2021).

Menurut Faisal, sebelum melontarkan kritik, BEM UI dibekali dengan riset-riset ilmiah. BEM, kata dia, memiliki departemen kajian strategis. Budaya kritik dengan data ilmiah pun berlangsung dari dulu sampai sekarang. Adapun departemen kajian strategis tak hanya berfokus di fakultas, melainkan lintas ilmu.

"Mereka punya departemen kajian strategis. Di level fakultas juga ada. Hebatnya lagi, di level universitas, pendekatannya lintas ilmu, lintas fakultas," tutur Faisal.

Faisal menduga masalah yang dialami BEM UI dengan kampusnya setelah melayangkan kritik untuk Jokowi terjadi lantaran para dosen khawatir akan dipersulit menjadi guru.

"Para dosen ketakutan karena kalau kritis dipersulit jadi guru besar," tutur Faisal.

Istana Perlu Cool

Serangan kepada Presiden Jokowi itu, menurut pengamat, mesti ditanggapi Istana dengan kalem. Istana diminta tidak terburu-buru merespons kritik tersebut.

“Istana tidak perlu merespons, itu biasa-biasa saja justru biarkan ini menjadi dinamika di tengah masyarakat ada kritik otokritik di tengah masyarakat,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Political Institute Karyono Wibowo saat dihubungi Bisnis.com, Minggu (27/6/2021).

Menurut Karyono kritikan adalah hal lumrah di negara demokrasi.

Karyono menyebutkan kritik yang dilayangkan BEM UI melalui Twitter tersebut tentu akan mengundang tanggapan pro-kontra.

Nah, pemerintah cukup memperbaiki kebijakan yang dianggap kurang prorakyat.

Sejauh ini, Istana pun belum mengeluarkan pernyataan resmi soal kritik dari BEM UI tersebut.

Selain itu, respons dari pihak Rektorat UI mestinya cukup "untuk mewakili" tanggapan pemerintah atas kritik tersebut.  

Peretasan 

Namun, di saat Istana menahan diri, muncul kabar terjadi peretasan yang dialami oleh para aktivis BEM UI. Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia Leon Alvinda Putra mengaku sempat mengalami peretasan pada aplikasi pesan instan Whatsapp.

Kabar itu disampaikan Leon melalui akun Twitter pribadi @Leon_Alvinda, Senin (28/6/2021). Kondisi ini dialami berselang dua hari setelah BEM UI menyebut Presiden Joko Widodo sebagai the king of lip service.

“Saat ini Whatsapp saya tidak bisa dibuka karena sedang diretas. Jika ada pesan dari HP maka bukan saya yang mengirim,” tulisnya melalui Twitter.

Leon mengunggah tangkapan layar berisi keterangan bahwa Whatsapp tidak lagi terdaftar pada ponselnya. Kondisi ini diduga karena nomor tersebut telah terdaftar pada ponsel lain.

Tidak lama setelah itu, Leon kembali memberi kabar bahwa nomornya kembali dapat digunakan.

“Alhamdulillah saya sudah bisa masuk lagi [ke Whatsapp],” tulisnya.

Rupanya tak hanya Leon yang mengaku mengalami peretasan. Sejumlah pengurus BEM UI periode 2021 dilaporkan mendapatkan serangan digital, sejak Minggu (27/6/2021) hingga Senin (28/6/2021).

Leon menyebutkan serangan digital itu antara lain menyasar akun WhatsApp Tiara Sahfina, Kepala Biro Hubungan Masyarakat BEM UI 2021.

Akun aplikasi pesan instan milik Tiara itu tak dapat diakses sejak pukul 00.56 WIB.

"Dan tertulis bahwa akun tersebut telah keluar dari telepon genggam Tiara, hingga saat ini akun WhatsApp Tiara belum dapat diakses kembali.

"Pukul 07.11 WIB akun WhatsApp Yogie (Wakil Ketua BEM UI) tidak bisa diakses dan muncul notifikasi akun tersebut sudah digunakan di HP lain," tulis Leon dalam utas di Twitternya.

Akun WhatsApp Yogie akhirnya bisa digunakan kembali pada 07.20 WIB.

Selain itu, Leon mengatakan terdapat upaya dari pihak tidak dikenal ke akun Telegram Naifah Uzlah, Koordinator Bidang Sosial Lingkungan BEM UI, pada pukul 02:15 WIB.

"Pada pukul 21.45 WIB akun instagram Syahrul Badri (Kepala Departemen Aksi dan Propaganda BEM UI) mengalami 'restriction' setelah mengunggah beberapa postingan di insta-story menyangkut surat pemanggilan fungsionaris BEM UI oleh pihak UI. Akun masih ada, namun sampai saat ini pemilik akun belum bisa menggunakan akun tersebut seperti biasa," tambah Leon.

Oleh karena itu, Leon menegaskan bahwa BEM UI mengecam segala bentuk upaya peretasan terhadap pengurus organisasi kemahasiswaan tersebut. 

"Dengan ini kami mengecam keras segala bentuk serangan digital yang dilakukan kepada beberapa pengurus BEM UI 2021." Tidak berselang lama, Leon kembali mengunggah informasi via akun Twitternya bahwa akun Whatsapp tidak dapat diretas. Informasi itu diunggah pada pukul 11.04 WIB. Namun, tiga menit berselang dia menambahkan keterangan dalam unggahan itu bahwa akun tersebut sudah dapat diakses.

Legitimasi vs Sentimen Post-Truth

Kritik terhadap Presiden oleh rakyatnya, di negara mana pun (bahkan di negara nondemokratis) lazim terjadi. Hal yang membedakan adalah bagaimana kekuasaan merespons kritik yang disampaikan masyarakat.

Ketahanan untuk merespons kritik dengan baik akan semakin memperkuat legitimasi pemerintahan yang demokratis. Sebaliknya, pemerintahan yang kurang sabar dan kurang telaten menghadapi kritik bisa berubah menjadi rezim tukang gebuk dan tukang gigit demokrasi, baik terang-terangan maupun secara diam-diam.

Masalahnya, pola peretasan terhadap pelontar kritik atau yang "bersuara vokal" tak hanya terjadi kali ini saja. Pada beberapa kasus sebelunya, sejumlah orang tak hanya diretas akunnya. Mereka juga menjadi korban doxing, ditelanjangi dan dipublish sisi buruknya menjadi hidangan publik.

Tidak pernah diketahui hingga kini siapa pelaku peretasan dan doxing tersebut. Namun, justru di sini bahayanya bagi legitimasi kekuasaan. Jika bergulir opini yang terus menggelinding dan menyebut peretasan itu dilakukan oleh pihak-pihak di dalam pemerintahan, maka penerimaan dan anggapan masyarakat bahwa pemerintah berlaku demokratis akan terkikis.

Persepsi negatif tersebut jika tidak diantisipasi akan menjadi keyakinan baru yang mengalahkan kebenaran faktual bahwa pemerintah saat ini memiliki legitimasi yang kuat untuk mengelola negara.   

Satu hal yang harus diperhatikan, seperti dikatakan Daniel Levitin, di masa Post-Truth fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada daya tarik emosi dan keyakinan individu. 

Jadi kalau persepsi masyarakat terus digoreng dengan minyak emosi dan taburan resep keyakinan baru, maka dampaknya bagi legitimasi kekuasaan tidak bisa dianggap ringan.

Akademisi sekaligus peneliti masalah komunikasi dan politik Guntur F. Prisanto dalam sebuah diskusi menyebutkan era post-truth atau era pascakebenaran diwarnai perkembangan teknologi informasi yang memunculkan “kebenaran baru” yang sulit membedakan mana kebenaran sejati dan mana kebenaran intuisi.

Maka pekerjaan rumah bagi Istana sekarang adalah merespons kritik dari mahasiswa juga siapa pun dengan terukur dan tak lupa melakukan analisis dampak (semacam AMDAL) saat akan merespons sesuatu.

Sedikit saja salah langkah, dan terburu-buru, Istana justru mendorong masyarakat percaya pada kebenaran baru yang bisa muncul di era post-truth ini.

Ancaman Disintegrasi Sosial

Di luar kritik dari mahasiswa UI, pemerintah justru harus bersiap diri menghadapo potensi disintegrasi. Di tengah tingginya paparan wabah Covid-19 yang merusak sendi-sendi perekonomian negara, disintegrasi sosial menjadi ancaman paling besar kehidupan berbangsa saat ini.

Hal itu disampaikan Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta dalam diskusi yang digelar secara virtual dan live lewat Gelora TV.

Anis Matta menyampaikan hal itu saat membuka diskusi bertajuk “Pembelahan Politik di Jagat Media Sosial: Residu pemilu yang tak kunujung usai”, di Gelora Media Center, Selasa (22/6/2021).

Diskusi menghadirkan nara sumber Sekjen Partai Gelora Mahfuz Sidik, akademisi sekaligus peneliti masalah komunikasi dan politik Guntur F. Prisanto serta Dyah Kartika Rini, founder Spindoctor dan penggerak JASMEV.

Menurut Anis, berbeda dari sejumlah krisis yang pernah dialami bangsa Indonesia sebelumnya, ancaman disintegrasi sosial kali ini diperburuk oleh pembelahan politik. Terutama, ujar dia, akibat Pilpres 2019 dan Pilgub DKI Jakarta 2017.

Disintegritas sosial menjadi ancaman yang jauh lebih serius, ujar Anis. Hal itu karena Indonesia selain menghadapi krisis kesehatan Covid-19, juga krisis menghadapi ekonomi yang bisa berubah menjadi krisis sosial dan krisis politik.

(Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi berdasar sejumlah berita yang beredar saat ini)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Saeno
Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper